hujan meteor di akhir 2009
Hujan Meteor bakal terjadi di penghujung tahun 2009 ini. Tandai hari Senin 14 Desember 2009 mendatang dalam kalender anda. Atur alarm pada jam agar berbunyi tepat saat waktu menunjuk pukul 02:00 WIB. Jangan lupa sertakan kopi kental, atau coklat panas, untuk menemani anda menyaksikan pertunjukan tak biasa yang jarang terjadi di langit malam.Bila langit cerah tanpa mendung, dalam satu jam anda akan menyaksikan ratusan meteor melesat susul menyusul demikian cepat, mengingat kecepatan awalnya saja mencapai 35 km/detik atau 126.000 km/jam. Demikian banyak meteor yang muncul sehingga dapat diibaratkan sebagai ‘hujan’. Beberapa diantaranya akan begitu cemerlang sebagai ndaru (fireball) sehingga mampu menerangi tanah tempat anda berpijak meski hanya sececah dalam sedetik. Itulah tanda Geminids telah mencapai puncaknya.
Seperti apasih kira2 Hujan Meteor itu..?
Berikut rekaman Hujan meteor Leonids pada 2001:
Tahun ini, Hujan meteor (shower) dinamakan Geminids, karena semua meteor tersebut berasal dari satu titik (radiant) dalam gugusan bintang Gemini, salah satu rasi bintang penghuni ekliptika yang memiliki bentuk mirip manusia kembar. Geminids akan muncul di dekat bintang terang Castor. Bila dilihat dari Pulau Jawa, Geminids akan nampak cukup tinggi di utara yakni pada ketinggian 50 derajat dan azimuth 351, karena Geminids baru saja melintasi meridian setempat (atau mengalami transit) setengah jam sebelumnya.
Hujan meteor Geminids sebenarnya berlangsung sejak 6 Desember 2009 lalu dan baru akan berakhir pada 18 Desember 2009 mendatang. Pada saat–saat awal dan akhirnya, Geminids hanya menghasilkan 1 meteor/jam. Namun pada saat puncaknya, yakni 14 Desember 2009 pukul 05:00 WIB, intensitas meteor membengkak menjadi 140 meteor/jam. Tetapi pada jam itu langit Pulau Jawa sudah cukup terang mengingat Matahari akan segera terbit yang membuat Geminids takkan terlihat, sehingga kondisi terbaik untuk mengamatinya adalah pada jam 02:00–04:00 WIB.
Hujan meteor Geminids merupakan anggota hujan meteor periodik, yakni hujan meteor yang akan terjadi pada saat yang sama setiap tahun. Secara umum hujan meteor periodik terjadi ketika Bumi melintas di dekat atau berpotongan dengan orbit sebuah komet.
Komet merupakan benda langit mini anggota tata surya yang tersusun dari debu halus berselimut es. Ketika komet bergerak mendekati perihelionnya (titik terdekat dengan Matahari), radiasi sinar Matahari membuat es menguap sehingga terlepaslah debu–debu dari permukaan komet dan terserak di sepanjang orbit komet. Sinar Matahari menyinari debu-debu ini sehingga nampak seperti ‘ekor’, yang arahnya selalu menjauhi Matahari.
Debu–debu komet itu tetap bergerak mengelilingi Matahari sesuai dengan orbit komet induknya. Ketika Bumi melintasi orbit komet, gravitasi Bumi akan menarik debu–debu ini jatuh ke permukaan Bumi sehingga berubahlah debu-debu tersebut menjadi meteor. Meteor dari hujan meteor periodik memiliki rentang kecepatan awal sangat tinggi, yakni dari 30 km/detik hingga 72 km/detik. Inilah yang membedakannya dengan meteor dari hujan meteor sporadik, yang kecepatannya lebih rendah yakni dari 12 km/detik hingga 25 km/detik, karena berasal dari pecahan–pecahan asteroid yang secara umum memiliki eksentrisitas dan inklinasi orbit lebih rendah ketimbang komet.
Geminids sempat menimbulkan teka–teki, karena berbeda dengan hujan meteor periodik lainnya, tidak diketahui komet apa yang menjadi induknya hingga tahun 1983. Kejutan besar terjadi pada 11 Oktober 1983 ketika satelit IRAS (Infra Red Astronomical Satellite) mendeteksi sebuah obyek bergaris tengah 5,1 km yang sehari berikutnya juga diidentifikasi teleskop Schmidt 1,2 meter di Observatorium Gunung Palomar, California (AS). Obyek ini ternyata adalah asteroid, yang dinamakan Phaethon dan diklasifikasikan sebagai asteroid dekat Bumi (near Earth asteroid) dari kelas Apollo, karena orbitnya memotong orbit Bumi.
Phaethon mengelilingi Matahari dalam orbit sangat ellips–hampir–parabolik (eksentrisitas 0,8899) dengan periode 1,43 tahun dan inklinasi 22 derajat. Phaethon bisa mendekati Matahari jauh lebih dekat dibanding Merkurius, yakni hanya 0,14 SA (Satuan Astronomi, SA = jarak rata–rata Bumi–Matahari). Sebaliknya, Phaethon pun mampu melambung jauh hingga ke bagian tengah Sabuk Asteroid, yakni sejauh 2,4 SA. Pada 14 Desember 2009 Phaethon berada sejauh 1,65 SA dari Bumi atau 2,23 SA dari Matahari. Analisa komparatif menunjukkan Phaethon merupakan induk Geminids, ditunjukkan oleh nilai kriteria Drummond sebesar 0,095 atau lebih kecil dari nilai batas 0,105 untuk memastikan asosiasi hujan meteor dengan komet induknya.
Penemuan ini menggemparkan dunia, karena belum pernah sebelumnya teridentifikasi adanya hujan meteor yang berinduk dari asteroid. Namun keganjilan orbit Phaethon, khususnya pada nilai eksentrisitas dan inklinasi yang sangat besar, melebihi asteroid dekat Bumi pada umumnya (yang rata–rata memiliki eksentrisitas 0,286 dengan inklinasi 10 derajat) membawa pada kesimpulan bahwa Phaethon aslinya merupakan komet namun sudah ‘mati’ karena sudah kehilangan seluruh lapisan keraknya yang didominasi debu dan es sehingga tinggal menyisakan inti berupa bongkahan padat mirip asteroid.
Phaethon pada awalnya merupakan komet berperiode pendek (kurang dari 10 tahun) dan menjadi bagian komet keluarga Jupiter. Hingga pada suatu saat Phaethon terlalu berdekatan dengan Jupiter, membuat gravitasi planet raksasa itu mengubah orbitnya sehingga menjadi lebih mendekati Matahari dengan aphelion di Sabuk Asteroid. Gravitasi Jupiter sekali lagi kemudian mengevolusi orbit Phaethon sehingga aphelionnya menjadi lebih kecil dari 2,5 SA atau berada di luar celah Kirkwood, yakni satu kawasan di dalam Sabuk Asteroid yang bersih dari asteroid karena kontrol mutlak gravitasi Jupiter.
Pasca Phaethon, ditemukanlah sejumlah asteroid yang mirip seperti Elst–Pizzaro, Wilson–Harrington dan Chiron. Penemuan Phaethon membuka ‘jendela’ pengetahuan baru bahwa komet pun bisa berevolusi menjadi asteroid.
Selain induknya, posisi istimewa Geminids ditunjukkan oleh sejarahnya sebagai hujan meteor periodik sangat muda yang baru berusia 1,5 abad. Geminids pertama kali dilaporkan pada tahun 1862 oleh R.P. Greg dari Manchester (Inggris), dengan intensitas 10 meteor/jam. Pelan namun pasti Geminids mengalami peningkatan intensitas secara gradual sehingga menjadi 20 meteor/jam pada 1900–an, 60 meteor/jam pada 1940–an dan 80 meteor/jam pada 1970–an.
Peningkatan gradual ini disebabkan oleh gangguan gravitasi Jupiter. Faktor yang sama juga membuat titik potong orbit Phaethon dengan ekliptika bergeser secara gradual sehingga Geminids hanya akan bisa disaksikan manusia di antara tahun 1800 hingga 2100. Pasca 2100, Geminids akan menghilang sepenuhnya.
Meski kecepatannya sangat tinggi, Geminids tidak perlu dikhawatirkan akan mengganggu kehidupan di Bumi. Debu–debu Phaethon yang menjadi sumber Geminids hanya berukuran 1 mm sehingga ketika memasuki atmosfer Bumi, ia akan terbakar habis. Ada beberapa yang seukuran kerikil kecil dan ketika memasuki atmosfer Bumi menghasilkan ndaru (fireball), namun tidak akan sampai ke permukaan Bumi. Sehingga tidak ada resiko yang ditimbulkannya. Inilah bagian dari kemahakuasaan Allah SWT, dimana obyek secepat itu ternyata memiliki dimensi sangat kecil sehingga tidak berpengaruh apapun terhadap manusia di Bumi.
Hujan meteor Geminids tahun 2009 terjadi ketika Bulan sudah berumur tua, hanya 2 hari 17 jam sebelum Bulan baru (konjungsi). Bulan akan terbit dari arah timur pada jam 03:00 WIB dan ketika pengamatan diakhiri pada jam 04:00 WIB, ketinggian Bulan baru mencapai 11 derajat di langit timur dengan magnitude visual –7,9 sehingga cukup redup dan membuat sebagian besar Geminids akan tetap teramati.
Pengamat sebaiknya tidur lebih awal dan baru bangun pasca tengah malam. Pengamatan sebaiknya dilakukan di ruang terbuka, menghadap ke utara dan jauh dari sumber–sumber cahaya buatan manusia. Pengamat sebaiknya dalam posisi duduk serileks mungkin, bisa dengan bersandar pada dinding ataupun kursi. Pengamat bisa melengkapi diri dengan kamera digital, yang sebaiknya diposisikan permanen ke utara menuju ke ketinggian 50 derajat dan ditegakkan dengan tripod. Pengamatan di pedesaan lebih disarankan karena polusi cahayanya lebih kecil. Jika pengamatan dilakukan di wilayah perkotaan, polusi cahaya akan membuat jumlah meteor yang teramati menurun drastis menjadi 3–10 kali lipat lebih rendah dari yang seharusnya.
Alhamdulillah, saya di desa dan semoga usaha saya tidak terhalang mendung ataupun hujan, dan yg utama melawan kantuk…..untuk menikmati salah satu keagungan-Nya ini…..
Karena nabi Ibrahim a.s senang memandangi langit malam yang penuh keindahan dan keagungan Sang Pencipta
No comments:
Post a Comment
Silahkan luangkan waktu anda untuk memberikan Sedikit Komentar Buat Kemajuan Blog ini.. Setetes Komentar anda sangat berarti buat saya ok tulis yaaa..