Tetapi di masa kini kaum Muslimin di dunia, apabila disebut Imam Bukhari, maka yang dipahami hanyalah Imam Ahlul Hadits dari negeri Bukhara yang bernama Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah Al-Bukhari. Karena karya beliau yang amat masyhur di kalangan kaum Muslimin di dunia ialah: Al-Jami’us Shahih Al-Musnad min Haditsi Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi yang kemudian terkenal dengan nama kitab Shahih Al-Bukhari. Kata “Bukhari” itu sendiri maknanya ialah: Orang dari negeri Bukhara. Jadi kalau dikatakan “Imam Bukhari” maknanya ialah seorang tokoh dari negeri Bukhara.
Al-Bukhari Di Masa Kecil
Nasab kelengkapan dari tokoh yang sedang kita bincangkan ini adalah sebagai berikut: Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah. Kakek (Zoroaster) sebagai agama asli orang-orang Persia yang menyembah api. Sang kakek tersebut meninggal dalam keadaan masih beragama Majusi. Putra dari Bardizbah yang bernama Al-Mughirah kemudian masuk Islam di bawah bimbingan gubernur negeri Bukhara Yaman Al-Ju’fi sehingga Al-Mughirah dengan segenap anak cucunya dinisbatkan kepada kabilah Al-Ju’fi. Dan ternyata cucu dari Al-Mughirah ini di kemudian hari mengukir sejarah yang agung, yaitu sebagai seorang Imam Ahlul Hadits.
Al-Imam Al-Bukhari lahir pada hari Jum’at tanggal 13 Syawal 194 H di negeri Bukhara di tengah keluarganya yang cinta ilmu sunnah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam. Karena ayah beliau bernama Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah adalah seorang ulama Ahli hadits yang meriwayatkan hadits-hadits Nabi dari Imam Malik bin Anas, Hammad bin Zaid, dan sempat pula berpegang tangan dengan Abdullah bin Mubarak. Riwayat-riwayat Ismail bin Ibrahim tentang hadits Nabi tersebar di kalangan orang-orang Iraq.
Ayah Al-Bukhari meninggal dunia ketika beliau masih kecil. Di saat menjelang wafatnya, Ismail bin Ibrahim sempat membesarkan hati anaknya yang masih kecil sembari menyatakan kepadanya: “Aku tidak mendapati pada hartaku satu dirham pun dari harta yang haram atau satu dirham pun dari harta yang syubhat.” Tentu anak yang ditumbuhkan dari harta yang bersih dari perkara haram atau syubhat akan lebih baik dan mudah dididik kepada yang baik. Sehingga sejak wafatnya sang ayah, Al-Bukhari hidup sebagai anak yatim dalam dekapan kasih sayang ibunya.
Muhammad bin Ismail mendapat perhatian penuh dari ibunya. Sejak usianya yang masih muda dia telah hafal Al-Qur’an dan tentunya belajar membaca dan menulis. Kemudian pada usia sepuluh tahun, Muhammad kecil mulai bersemangat mendatangi majelis-majelis ilmu hadits yang tersebar di berbagai tempat di negeri Bukhara. Pada usia sebelas tahun, dia sudah mampu menegur seorang guru ilmu hadits yang salah dalam menyampaikan urut-urutan periwayatan hadits (yang disebut sanad). Usia kanak-kanak beliau dihabiskan dalam kegiatan menghafal ilmu dan memahaminya sehingga ketika menginjak usia remaja –enam belas tahun–, beliau telah hafal kitab-kitab karya imam-imam Ahli hadits dari kalangan tabi’it tabi’in (generasi ketiga umat Islam), seperti karya Abdullah bin Al-Mubarak, Waqi’ bin Al-Jarrah, dan memahami betul kitab-kitab tersebut.
Usia kanak-kanak Muhammad bin Ismail telah berlalu dengan agenda belajar yang amat padat. Kesibukannya di masa kanak-kanak dalam menghafal dan memahami ilmu, mengantarkannya kepada masa remaja yang cemerlang dan menakjubkan. Kini ia menjadi remaja yang amat diperhitungkan orang di majelis manapun dia hadir. Karena dalam usia belasan tahun seperti ini dia telah hafal di luar kepala tujupuluh ribu hadits lengkap dengan sanadnya di samping tentunya Al-Qur’an tiga puluh juz.
Melanglang Buana Menuntut Ilmu
Di awal usianya yang ke delapan belas, Al-Bukhari diajak ibunya bersama kakaknya bernama Ahmad bin Ismail berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Perjalanan jauh antara negeri Bukhara dengan Mekkah menunggang unta, keledai dan kuda adalah pengalaman baru baginya. Sehingga dia terbiasa dengan berbagai kesengsaraan perjalanan jauh mengarungi padang pasir, gunung-gunung dan lembahnya yang penuh keganasan alam. Dalam kondisi yang demikian, dia merasa semakin dekat kepada Allah dan dia benar-benar menikmati perjalanan yang memakan waktu berbulan-bulan itu. Sesampainya di Makkah, Al-Bukhari mendapati kota Makkah penuh dengan ulama Ahli Hadits yang membuka halaqah-halaqah ilmu. Tentu yang demikian ini semakin menggembirakan beliau. Oleh karena itu, setelah selsai pelaksanaan ibadah haji, beliau tetap tinggal di Makkah sementara kakak kandungnya kembali ke Bukhara bersama ibunya. Beliau bolak-balik antara Makkah dan Madinah, kemudian akhirnya mulai menulis biografi para tokoh. Sehingga lahirlah untuk pertama kalinya karya beliau dalam bidang ilmu hadits yang berjudul Kitabut Tarikh. Ketika kitab karya beliau ini mulai tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam, ramailah pembicaraan orang tentang tokoh ilmu hadits tersebut dan semua orang amat mengaguminya. Sampai-sampai seorang Imam Ahli Hadits di masa itu yang bernama Ishaq bin Rahuyah membawa Kitabut Tarikh karya Al-Bukhari ini ke hadapan gubernur negeri Khurasan yang bernama Abdullah bin Thahir Al-Khuza’i, sembari mengatakan: “Wahai tuan gubernur, maukah aku tunjukkan kepadamu atraksi sihir?” Kemudian ditunjukkan kepadanya kitab ini. Maka gubernur pun membaca kitab tersebut dan beliau sangat kagum dengannya. Sehingga tuan gubernur pun mengatakan: “Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa mengarang kitab ini.” Al-Imam Al-Bukhari pun akhirnya menjadi amat terkenal di berbagai negeri Islam. Ketika Al-Imam Al-Bukhari berkeliling ke berbagai negeri tersebut, beliau mendapati betapa para ulama Ahlul Hadits di setiap negeri tersebut sangat menghormatinya. Beliau berkeliling ke berbagai negeri pusat-pusat ilmu hadits seperti Mesir, Syam, Baghdad (Iraq), Bashrah, Kufah dan lain-lainnya.
Di saat berkeliling ke berbagai negeri itu, beliau suatu hari duduk di majlisnya Ishaq bin Rahuyah. Di sana ada satu saran dari hadirin untuk kiranya ada upaya mengumpulkan hadits-hadits Nabi dalam satu kitab. Dengan usul ini mulailah Al-Imam Al-Bukhari menulis kitab shahihnya dan kitab tersebut baru selesai dalam tempo enam belas tahun sesudah itu. Beliau menuliskan dalam kitab ini hadits-hadits yang diyakini shahih oleh beliau setelah menyaring dan meneliti enam ratus ribu hadits. Beliau pilih daripadanya tujuh ribu dua ratus tujupuluh lima hadits shahih dan seluruhnya dikumpulkan dalam satu kitab dengan judul Al-Jami’us Shahih Al-Musnad min Haditsi Rasulillah wa Sunani wa Ayyamihi yang kemudian terkenal dengan nama kitab Shahih Al-Bukhari. Kitab ini pun mendapat pujian dan sanjungan dari berbagai pihak di seantero negeri-negeri Islam. Sehingga ketokohan beliau dalam ilmu hadits semakin diakui kalangan luas dunia Islam. Para imam-imam Ahli Hadits sangat memuliakannya, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma`in dan lain-lainnya.
Imam Al-Bukhari Disanjung Di Mana-Mana
Karya-karya beliau dalam bidang hadits terus mengalir dan beredar di dunia Islam. Kepiawaian beliau dalam menyampaikan keterangan tentang berbagai kepelikan di seputar ilmu hadits di berbagai majelis-majelis ilmu bersinar cemerlang sehingga beliau dipuji dan diakui keilmuannya oleh para gurunya dan para ulama yang setara ilmunya dengan beliau, lebih-lebih lagi oleh para muridnya. Beliau menimba ilmu dari seribu lebih ulama dan semua mereka selalu mempunyai kesan yang baik, bahkan kagum terhadap beliau.
Al-Imam Al-Hafidh Abil Hajjaj Yusuf bin Al-Mizzi meriwayatkan dalam kitabnya yang berjudul Tahdzibul Kamal fi Asma’ir Rijal beberapa riwayat pujian para ulama Ahli hadits dan sanjungan mereka terhadap Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Di antara beberapa riwayat itu antara lain ialah pernyataan Al-Imam Mahmud bin An-Nadhir Abu Sahl Asy-Syafi’i yang menyatakan: “Aku masuk ke berbagai negeri yaitu Basrah, Syam, Hijaz dan Kufah. Aku melihat di berbagai negeri tersebut bahwa para ulamanya bila menyebutkan Muhammad bin Ismail Al-Bukhari selalu mereka lebih mengutamakannya daripada diri-diri mereka.”
Karena itu majelis-majelis ilmu Al-Imam Al-Bukhari selalu dijejali ribuan para penuntut ilmu. Dan bila beliau memasuki suatu negeri, puluhan ribu bahkan ratusan ribu kaum Muslimin menyambutnya di perbatasan kota karena beberapa hari sebelum kedatangan beliau, telah tersebar berita akan datangnya Imam Ahlul Hadits, sehingga kaum Muslimin pun berjejal-jejal berdiri di pinggir jalan yang akan dilewati beliau hanya untuk sekedar melihat wajah beliau atau kalau bernasib baik, kiranya dapat bersalaman dengan beliau.
Al-Imam Muhammad bin Abi Hatim meriwayatkan bahwa Hasyid bin Ismail dan seorang lagi (tidak disebutkan namanya), keduanya menceritakan: “Para ulama Ahli Hadits di Bashrah di jaman Al-Bukhari masih hidup merasa lebih rendah pengetahuannya dalam hadits dibanding Al-Imam Al-Bukhari. Padahal beliau ini masih muda belia. Sehingga pernah ketika beliau berjalan di kota Bashrah, beliau dikerumuni para penuntut ilmu. Akhirnya beliau dipaksa duduk di pinggir jalan dan dikerumuni ribuan orang yang menanyakan kepada beliau berbagai masalah agama. Padahal wajah beliau masih belum tumbuh rambut pada dagunya dan juga belum tumbuh kumis.”
Datanglah Badai Menghempas
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dielu-elukan dan disanjung orang di mana-mana. Pujian penuh ketakjuban datang dari segala penjuru negeri, dan beliau dijadikan rujukan para ulama di masa muda belia. Di saat penuh kesibukan ibadah dan ilmu yang menghiasi detik-detik kehidupan Al-Bukhari, pada sebagian orang muncul iri dengki terhadap berbagai kemuliaan yang Allah limpahkan kepadanya.
Badai itu bermula dari kedatangan beliau pada suatu hari di negeri Naisabur dalam rangka menimba ilmu dari para imam-imam Ahli Hadits di sana. Kedatangan beliau ke negeri tersebut bukanlah untuk pertama kalinya. Beliau sebelumnya sudah berkali-kali berkunjung ke sana karena Nasaibur termasuk salah satu pusat markas ilmu sunnah. Lagi pula di sana terdapat guru beliau, seorang Ahli Hadits yang bernama Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli. Pada suatu hari tersebarlah berita gembira di Naisabur bahwa Muhammad bin Ismail Al-Bukhari akan datang ke negeri tersebut untuk tinggal padanya beberapa lama. Bahkan Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli mengumumkan secara khusus di majelis ilmunya dengan menyatakan: “Barangsiapa ingin menyambut Muhammad bin Ismail besok, silakan menyambutnya karena aku akan menyambutnya.” Maka masyarakat luas pun bergerak mengadakan persiapan untuk menyambut kedatangan Imam besar Ahli Hadits di kota mereka.
Di hari kedatangan Imam Al-Bukhari itu, ribuan penduduk Naisabur bergerombol di pinggir kota untuk menyambutnya. Di antara yang berkerumun menunggu kedatangan beliau itu ialah Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli bersama para ulama lainnya. Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ya’qub Al-Akhram bahwa ketika Al-Bukhari sampai di pintu kota Naisabur, yang menyambutnya sebanyak empat ribu orang berkuda, di samping yang menunggang keledai dan himar serta ribuan pula yang berjalan kaki.”
Imam Muslim bin Al-Hajjaj menceritakan: “Ketika Muhammad bin Ismail datang ke Naisabur, semua pejabat pemerintah dan semua ulama menyambutnya di batas negeri.”
Ketika Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari sampai di Naisabur, para penduduk menyambutnya dengan penyambutan yang demikian besar dan agung. Beribu-ribu orang berkerumun di tempat tinggal beliau setiap harinya untuk menanyakan kepada beliau berbagai masalah agama dan khususnya berbagai kepelikan tentang hadits. Akibatnya berbagai majelis ilmu para ulama yang lainnya menjadi sepi pengunjung. Dari sebab ini mungkin timbul ketidakenakan di hati sebagian ulama itu terhadap Al-Bukhari.
Di hari ketiga kunjungan beliau ke Naisabur, terjadilah peristiwa yang amat disesalkan itu. Diceritakan oleh Ahmad bin Adi peristiwa itu terjadi sebagai berikut:
Telah menceritakan kepadaku sekelompok ulama bahwa ketika Muhammad bin Ismail sampai ke negeri Naisabur dan orang-orang pun berkumpul mengerumuninya, maka timbullah kedengkian padanya dari sebagian ulama yang ada pada waktu itu. Sehingga mulailah diberitakan kepada para ulama Ahli hadits bahwa Muhammad bin Ismail berpendapat bahwa lafadh beliau ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk. Pada suatu majelis ilmu, ada seseorang berdiri dan bertanya kepada beliau: “Wahai Abu Abdillah (yakni Al-Bukhari), apa pendapatmu tentang orang yang menyatakan bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk? Apakah memang demikian atau lafadh orang yang membaca Al-Qur’an itu bukan makhluk?”
Mendengar pertanyaan itu, beliau berpaling karena tidak mau menjawabnya. Akan tetapi si penanya mengulang-ulang terus pertanyaannya hingga sampai ketiga kalinya seraya memohon dengan sangat agar beliau menjawabnya. Al-Bukhari pun akhirnya menjawab dengan mengatakan: “Al-Qur’an kalamullah (perkataan Allah) dan bukan makhluk. Sedangkan perbuatan hamba Allah adalah makhluk, dan menguji orang dalam masalah ini adalah perbuatan bid’ah.”
Dengan jawaban beliau ini, si penanya membikin ricuh di majelis dan mengatakan tentang Al-Bukhari: “Dia telah menyatakan bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk.” Akibatnya orang-orang di majelis itu menjadi ricuh dan mereka pun segera membubarkan diri dari majelis itu dan meninggalkan beliau sendirian. Sejak itu Al-Bukhari duduk di tempat tinggalnya dan orang-orang pun tidak lagi mau datang kepada beliau.”
Al-Khatib Al-Baghdadi meriwayatkan dari Ahmad bin Muhammad bin Ghalib dengan sanadnya dari Muhammad bin Khasynam menceritakan: “Setelah orang meninggalkan Al-Bukhari, orang-orang yang meninggalkan beliau itu sempat datang kepada beliau dan mengatakan: “Engkau mencabut pernyataanmu agar kami kembali belajar di majelismu.” Beliau menjawab: “saya tidak akan mencabut pernyataan saya kecuali bila mereka yang meninggalkanku menunjukkan hujjah (argumentasi) yang lebih kuat dari hujjahku.”
Kata Muhammad bin Khasynam: “Sungguh aku amat kagum dengan tegarnya dan kokohnya Al-Bukhari dalam berpegang dengan pendirian.”
Kaum Muslimin di Naisabur gempar dengan kejadian ini dan akhirnya arus fitnah melibatkan pula Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli sehingga beliau menyatakan di majelis ilmu beliau yang kini telah ramai kembali setelah orang meninggalkan majelis Al-Bukhari: “Ketahuilah, sesungguhnya siapa saja yang masih mendatangi majelis Al-Bukhari, dilarang datang ke majelis kita ini. Karena orang-orang di Baghdad telah memberitakan melalui surat kepada kami bahwa orang ini (yakni Al-Bukhari) mengatakan bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk. Kata mereka yang ada di Baghdad bahwa Al-Bukhari telah dinasehati untuk jangan berkata demikian, tetapi dia terus mengatakan demikian. Oleh karena itu, jangan ada yang mendekatinya dan barangsiapa mendekatinya maka janganlah mendekati kami.”
Tentu saja dengan telah terlibatnya Imam Adz-Dzuhli, fitnah semakin meluas. Hal ini terjadi karena Adz-Dzuhli adalah imam yang sangat berpengaruh di seluruh wilayah Khurasan yang beribukota di Naisabur itu. Bahkan lebih lanjut Al-Imam Adz-Dzuhli menegaskan: “Al-Qur’an adalah kalamullah (yakni firman Allah) dan bukan makhluk dari segala sisinya dan dari segala keadaan. Maka barangsiapa yang berpegang dengan prinsip ini, sungguh dia tidak ada keperluan lagi untuk berbicara tentang lafadhnya ketika membaca Al-Qur’an atau omongan yang serupa ini tentang Al-Qur’an. Barangsiapa yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, maka sungguh dia telah kafir dan keluar dari iman, dan harus dipisahkan dari istrinya serta dituntut untuk taubat dari ucapan yang demikian. Bila dia mau taubat maka diterima taubatnya. Tetapi bila tidak mau taubat, harus dipenggal lehernya dan hartanya menjadi rampasan Muslimin serta tidak boleh dikubur di pekuburan kaum Muslimin. Dan barangsiapa yang bersikap abstain dengan tidak menyatakan Al-Qur’an sebagai makhluk dan tidak pula menyatakan Al-Qur’an bukan makhluk, maka sungguh dia telah menyerupai orang-orang kafir. Barangsiapa yang menyatakan “lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk”, maka sungguh dia adalah Ahli Bid’ah (yakni orang yang sesat). Tidak boleh duduk bercengkrama dengannya dan tidak boleh diajak bicara. Oleh karena itu, barangsiapa setelah penjelasan ini masih saja mendatangi tempatnya Al-Bukhari, maka curigailah ia karena tidaklah ada orang yang tetap duduk di majelisnya kecuali dia semadzhab dengannya dalam kesesatannya.”
Dengan pernyataan Adz-Dzuhli seperti ini, berdirilah dari majelis itu Imam Muslim bin Hajjaj dan Ahmad bin Salamah. Bahkan Imam Muslim mengirimkan kembali kepada Adz-Dzuhli seluruh catatan riwayat hadits yang didapatkannya dari Imam Adz-Dzuhli, sehingga dalam Shahih Muslim tidak ada riwayat Adz-Dzuhli dari berbagai sanad yang ada padanya.
Sikap Imam Muslim bin Hajjaj dan Ahmad bin Salamah yang seperti itu menyebabkan Adz-Dzuhli semakin marah sehingga beliau pun menyatakan: “Orang ini (yakni Al-Bukhari) tidak boleh bertempat tinggal di negeri ini bersama aku.”
Kemarahan Adz-Dzuhli seperti ini sangat menggusarkan Ahmad bin Salamah, salah seorang pembela Al-Bukhari. Dia segera mendatangi Al-Bukhari seraya mengatakan: “Wahai Abu Abdillah (yakni Al-Bukhari), orang ini (yakni Adz-Dzuhli) sangat berpengaruh di Khurasan, khususnya di kota ini (yakni kota Naisabur). Dia telah terlalu jauh dalam berbicara tentang perkara ini sehingga tak seorang pun dari kami bisa menasehatinya dalam perkara ini. Maka bagaimana pendapatmu?”
Al-Imam Al-Bukhari amat paham kegusaran muridnya ini sehingga dengan penuh kasih sayang beliau memegang jenggot Ahmad bin Salamah dan membaca surat Ghafir 44 yang artinya: “Dan aku serahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” Kemudian beliau menunduk sambil berkata: “YA Allah, sungguh Engkau tahu bahwa aku tinggal di Naisabur tidaklah bertujuan jahat dan tidak pula bertujuan dengan kejelekan. Engkau juga mengetahui ya Allah, bahwa aku tidak mempunyai ambisi untuk memimpin. Hanyasaja karena aku terpaksa pulang ke negeriku karena para penentangku telah menguasai keadaan. Dan sungguh orang ini (yakni Adz-Dzuhli) membidikku semata-mata karena hasad (dengki) terhadap apa yang Allah telah berikan kepadaku daripada ilmu.” Wajah beliau sendu menyimpan kekecewaan yang mendalam. Dan dia menatap Ahmad bin Salamah dengan mantap sambil berkata: “wahai Ahmad, aku akan meninggalkan Naisabur besok agar kalian terlepas dari berbagai problem akibat omongannya (yakni omongan Adz-Dzuhli) karena sebab keberadaanku.” Segera setelah itu Al-Bukhari berkemas-kemas untuk mempersiapkan keberangkatannya besok kembali ke negeri Bukhara.
Rencana Al-Bukhari untuk pulang ke negeri Bukhara sempat diberitakan oleh Ahmad bin Salamah kepada segenap kaum Muslimin di Naisabur, tetapi mereka tidak ada yang berselera untuk melepasnya di batas kota. Sehingga Al-Imam Al-Bukhari dilepas kepulangannya oleh Ahmad bin Salamah saja dan beliau berjalan sendirian menempuh jalan darat yang jauh menuju negerinya yaitu Bukhara. “Selamat tinggal Naisabur, rasanya tidak mungkin lagi aku berjumpa denganmu.”
Badai Di Negeri Bukhara
Di negeri Bukhara telah tersebar berita bahwa Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari sedang menuju Bukhara. Penduduk Bukhara melakukan berbagai persiapan untuk menyambutnya di pintu kota. Bahkan diceritakan oleh Ahmad bin Mansur Asy-Syirazi bahwa dia mendengar dari berbagai orang yang menyaksikan peristiwa penyambutan Al-Bukhari di negeri Bukhara, dikatakan bahwa masyarakat membangun gapura penyambutan di tempat yang berjarak satu farsakh (kurang lebih 5 km) sebelum masuk kota Bukhara. Dan ketika Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari telah sampai di gapura “selamat datang” tersebut, beliau mendapati hampir seluruh penduduk negeri Bukhara menyambutnya dengan penuh suka cita, sampai-sampai disebutkan bahwa penduduk melemparkan kepingan emas dan perak di jalan yang akan diinjak oleh telapak kaki Al-Bukhari. Mereka berdiri di kedua sisi jalan masuk kota Bukhara sambil berebut memberikan buah anggur yang istimewa kepada sang Imam Ahlul Hadits yang amat mereka cintai itu.
Tetapi suka cita penduduk negeri Bukhara ini tidak berlangsung lama. Beberapa hari setelah itu para ahli fikih mulai resah dengan beberapa perubahan pada cara beribadah orang-orang Bukhara. Yang berlaku di negeri tersebut adalah madzhab Hanafi, sedangkan Al-Bukhari mengajarkan hadits sesuai dengan pengertian Ahli Hadits yang tidak terikat dengan madzhab tertentu sehingga yang nampak pada masyarakat ialah sikap-sikap yang diajarkan oleh Ahli Hadits, dan bukan pengamalan madzhab Hanafi. Orang dalam beriqamat untuk shalat jamaah tidak lagi menggenapkan bacaan qamat seperti adzan, tetapi membaca qamat dengan satu-satu sebagaimana yang ada dalam hadits-hadits shahih. Ketika bertakbir dalam shalat semula tidak mengangkat tangan sebagaimana madzhab Hanafi, sekarang mereka bertakbir dengan mengangkat tangan.
Dengan berbagai perubahan ini keresahan para ulama fiqih tambah menjadi-jadi sehingga tokoh ulama fiqih di negeri tersebut yang bernama Huraits bin Abi Wuraiqa’ menyatakan tentang Al-Imam Al-Bukhari: “Orang ini pengacau. Dia akan merusakkan kehidupan keagamaan di kota ini. Muhammad bin yahya telah mengusir dia dari Naisabur, padahal dia imam Ahli Hadits.”
Maka Huraits dan kawan-kawannya mulai berusaha untuk mempengaruhi gubernur Bukhara agar mengusir Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari ini. Gubernur negeri ini yang bernama Khalid bin Ahmad As-Sadusi Adz-Dzuhli.
Gubernur Khalid pernah meminta Al-Bukhari untuk datang ke istananya guna mengajarkan kitab At-Tarikh dan Shahih Al-Bukhari bagi anak-anaknya. Tetapi Al-Imam Al-Bukhari menolak permintaan gubernur tersebut dengan mengatakan: “Aku tidak akan menghinakan ilmu ini dan aku tidak akan membawa ilmu ini dari pintu ke pintu. Oleh karena itu bila anda memerlukan ilmu ini, maka hendaknya anda datang saja ke masjidku, atau ke rumahku. Bila sikapku yang demikian ini tidak menyenangkanmu, engkau adalah penguasa. Silakan engkau melarang aku untuk membuka majelis ilmu ini agar aku punya alasan di sisi Allah di hari kiamat bahwa aku tidaklah menyembunyikan ilmu (tetapi dilarang oleh penguasa untuk menyampaikannya).” Tentu gubernur Khalid dengan jawaban ini sangat kecewa. Maka berkumpullah padanya penghasutan Huraits bin Abil Wuraqa’ dan kawan-kawan serta kekecewaan pribadi gubernur ini. Huraits dan gubernur Khalid akhirnya sepakat untuk membikin rencana mengusir Muhammad bin Ismail dari Bukhara. Lebih-lebih lagi telah datang surat dari Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli dari Naisabur kepada gubernur Khalid bin Ahmad As-Sadusi Adz-Dzuhli di Bukhara yang memberitakan bahwa Al-Bukhari telah menampakkan sikap menyelisihi sunnah Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Dengan demikian matanglah rencana pengusiran Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dari negeri Bukhara.
Upaya pengusiran itu bermula dengan dibacakannya surat Muhammad bin yahya Adz-Dzuhli di hadapan segenap penduduk Bukhara tentang tuduhan beliau kepada Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari bahwa beliau telah berbuat bid’ah dengan mengatakan bahwa “lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk”. Tetapi dengan pembacaan surat, penduduk Bukhara pada umumnya tidak mau peduli dengan tuduhan tersebut dan terus memuliakan Al-Imam Al-Bukhari. Namun gubernur Khalid akhirnya mengusirnya dengan paksa sehingga Al-Imam Al-Bukhari sangat kecewa dengan perlakuan ini. Dan sebelum keluar dari negeri Bukhara, beliau sempat mendoakan celaka atas orang-orang yang terlibat langsung dengan pengusirannya. Ibrahim bin Ma’qil An-Nasafi menceritakan: “Aku melihat Muhammad bin Ismail pada hari beliau diusir dari negeri Bukhara, aku mendekat kepadanya dan aku bertanya kepadanya: “Wahai Abu Abdillah, apa perasaanmu dengan pengusiran ini?” Beliau menjawab: “Aku tidak peduli selama agamaku selamat.”
Al-Bukhari meninggalkan Bukhara dengan penuh kekecewaan dan dilepas penduduk Bukhara dengan penuh kepiluan. Beliau berjalan menuju desa Bikanda kemudian berjalan lagi ke desa Khartanka, yang keduanya adalah desa-desa negeri Samarkan. Di desa terakhir inilah beliau jatuh sakit dan dirawat di rumah salah seorang kerabatnya penduduk desa tersebut.
Dalam suasana hati yang terluka, tubuhnya yang kurus kering di usia ke enampuluh dua tahun, beliau berdoa mengadukan segala kepedihannya kepada Allah Ta`ala: “Ya Allah, bumi serasa sempit bagiku. Tolonglah ya Allah, Engkau panggil aku keharibaan-Mu.” Dan sesaat setelah itu ia pun menghembuskan nafas terakhir dan selamat tinggal dunia yang penuh onak dan duri.
Pembelaan Al-Bukhari
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari mengakhiri hidupnya di desa Khartanka, Samarkan pada malam Sabtu di malam hari Raya Fitri (Iedul Fitri) 1 Syawsal 256 H. sebelum menghembuskan nafas yang terakhir, beliau sempat berwasiat agar mayatnya nanti dikafani dengan tiga lapis kain kafan tanpa imamah (ikat kepala) dan tanpa baju. Dan beliau berwasiat agar kain kafannya berwarna putih. Semua wasiat beliau itu dilaksanakan dengan baik oleh kerabat beliau yang merawat jenasahnya. Beliau dikuburkan di desa itu di hari Iedul Fitri 1 Syawal 256 H setelah shalat Dhuhur. Dan seketika selesai pemakamannya, tersebarlah bau harum dari kuburnya dan terus semerbak bau harum itu sampai berhari-hari.
Gubernur Bukhara Khalid bin Ahmad Adz-Dzuhli menuai hasil dari kedhalimannya dengan datangnya keputusan pencopotan terhadap jabatannya dari Khalifah Al-Muktamad karena tuduhan ikut terlibat pemberontakan Ya’qub bin Al-Laits terhadap Khilafah Ath-Thahir. Khalid bin Ahmad akhirnya dipenjarakan di Baghdad sampai mati di penjara pada tahun 269 H. Sedangkan Huraits bin Abil Waraqa’ ditimpa kehancuran pada anak-anaknya yang berbuat tidak senonoh. Para penentang Imam Bukhari menyatakan penyesalannya dan kesedihannya dengan wafatnya beliau dan sebagian mereka sempat mendatangi kuburnya.
Mulailah setelah itu orang berani menyebarkan pembelaan Al-Imam Al-Bukhari dari segala tuduhan miring terhadap dirinya. Tetapi berbagai pembelaan itu selama ini tenggelam dalam hiruk pikuk fitnah tuduhan keji terhadap diri beliau. Dan Allah Maha Adil terhadap hamba-hamba-Nya.
Gubernur Bukhara Khalid bin Ahmad Adz-Dzuhli menuai hasil dari kedhalimannya dengan datangnya keputusan pencopotan terhadap jabatannya dari Khalifah Al-Muktamad karena tuduhan ikut terlibat pemberontakan Ya’qub bin Al-Laits terhadap Khilafah Ath-Thahir. Khalid bin Ahmad akhirnya dipenjarakan di Baghdad sampai mati di penjara pada tahun 269 H. Sedangkan Huraits bin Abil Waraqa’ ditimpa kehancuran pada anak-anaknya yang berbuat tidak senonoh. Para penentang Imam Bukhari menyatakan penyesalannya dan kesedihannya dengan wafatnya beliau dan sebagian mereka sempat mendatangi kuburnya.
Mulailah setelah itu orang berani menyebarkan pembelaan Al-Imam Al-Bukhari dari segala tuduhan miring terhadap dirinya. Tetapi berbagai pembelaan itu selama ini tenggelam dalam hiruk pikuk fitnah tuduhan keji terhadap diri beliau. Dan Allah Maha Adil terhadap hamba-hamba-Nya.
Muhammad bin Nasir Al-Marwazi mempersaksikan bahwa Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari menyatakan: “Barangsiapa yang mengatakan bahwa aku telah berpendapat bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk, maka sungguh dia adalah pendusta, karena sesungguhnya aku tidak pernah mengatakan demikian.”
Abu Amr Ahmad bin Nasir An-Naisaburi Al-Khaffaf mempersaksikan bahwa Al-Imam Al-Bukhari telah mengatakan kepadanya: “Wahai Abu Amir, hafal baik-baik apa yang aku ucapkan: Siapa yang menyangka bahwa aku berpendapat bahwa lafadhku tentang Al-Qur’an adalah makhluk, baik dia dari penduduk Naisabur, Qaumis, Ar-Roy, Hamadzan, Hulwan, Baghdad, Kuffah, Basrah, Makkah, atau Madinah, maka ketahuilah bahwa yang menyangka aku demikian itu adalah pendusta. Karena sesungguhnya aku tidaklah mengatakan demikian. Hanya saja aku mengatakan: Segenap perbuatan hamba Allah itu adalah makhluk.”
Yahya bin Said mengatakan: “Abu Abdillah Al-Bukhari telah berkata: Gerak-gerik hamba Allah, suara mereka, tingkah laku mereka, segala tulisan mereka adalah makhluk. Adapun Al-Qur’an yang dibaca dengan suara huruf-huruf tertentu, yang ditulis di lembaran-lembaran penulisan Al-Qur’an, yang dihafal di hati para penghafalnya, maka semua itu adlaah kalamullah (perkataan Allah) dan bukan makhluk.”
Yahya bin Said mengatakan: “Abu Abdillah Al-Bukhari telah berkata: Gerak-gerik hamba Allah, suara mereka, tingkah laku mereka, segala tulisan mereka adalah makhluk. Adapun Al-Qur’an yang dibaca dengan suara huruf-huruf tertentu, yang ditulis di lembaran-lembaran penulisan Al-Qur’an, yang dihafal di hati para penghafalnya, maka semua itu adlaah kalamullah (perkataan Allah) dan bukan makhluk.”
Ghunjar membawakan riwayat dengan sanadnya sampai ke Al-Firabri, dia mengatakan bahwa Al-Bukhari telah mengatakan: “Al-Qur’an kalamullah dan bukan makhluk. Barangsiapa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk maka sungguh dia telah kafir.” Bahkan Al-Imam Al-Bukhari menulis kitab khusus dalam masalah ini dengan judul Khalqu Af`alil Ibad yang padanya beliau menjelaskan pendirian beliau dalam masalah ini dengan gamblang dan jelas serta lengkap dan ilmiah.
Fitnah itu memang kejam, lebih kejam dari pembunuhan. Dia tidak akan memilih antara orang jahil atau orang alim dari kalangan ulama. Dan ulama pun bisa salah dalam memberikan penilaian, karena yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) hanyalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Orang-orang yang menyakini bahwa ulama itu ma’shum hanyalah para ahli bid’ah dari kalangan Rafidlah (Syiah) atau orang-orang sufi. Demikian pula orang-orang yang mencerca ulama karena kesalahannya semata tanpa mempertimbangkan apakah kesalahan itu karena kesalahan ijtihad ataukah kesalahan prinsip yang tak termaafkan, yang demikian ini adalah sikap sufaha’ (orang-orang dungu) semacm sururiyyun (pengikut Muhammad bin Surur) atau haddadiyyun (pengikut Mahmud Al-Haddad). Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak menganggap para ulama itu ma’shum dan tidak pula melecehkan ulama ketika mendapati kesalahan mereka. Dengan prinsip inilah kita tetap memuliakan Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Dan juga kita memuliakan Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli. Kita mendoakan rahmat Allah bagi para imam-imam tersebut. Dan kita memahami segala perselisihan di kalangan mereka dengan ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk mengerti mana yang benar untuk kita ikuti dan mana yang salah untuk kita tinggalkan.
Ahlus Sunnah wal Jamaah itu berkata dan berbuat dengan bersandarkan kepada ilmu. Adalah bukan akhlak Ahlus Sunnah wal Jamaah bila segerombolan orang berbuat hura-hura dan kemudian menvonis seseorang atau sekelompok orang. Tertapi ketika ditanyai, apa dasar kamu berbuat demikian? Jawabannya: Kami masih menunggu fatwa dari ulama!
Kita katakan kepada mereka ini: “Apalagi yang kalian tunggu dari ulama setelah kalian berbuat, menvonis dan menilai? Apakah kalian berbuat dulu baru mencari pembenaran terhadap perbuatan kalian dengan fatwa ulama? Kalau begitu yang kalian tunggu adalah fatwa pembenaran dari ulama terhadap perbuatan kalian. tentu yang demikian ini bukanlah akhlak Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Gubernur Bukhara Khalid bin Ahmad As-Sadusi dan mufti negeri Bukhara Huraits bin Abil Waraqa’ telah menyimpan ketidaksenangan kepada Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dan berencana untuk mengusirnya dari negeri Bukhara. Ketika sedang mencari-cari alasan pembenaran terhadap perbuatannya tiba-tiba datang surat dari Al-Imam Muhammad bin yahya Adz-Dzuhli dari Naisabur yang memperingatkan sang gubernur dari bahaya bid’ah yang dibawa oleh Al-Imam Al-Bukhari. Surat ini seperti kata pepatah: pucuk dicita ulam tiba. Tanpa selidik dan tanpa teliti, segera surat ini dibacakan di hadapan penduduk Bukhara dan setelah itu datanglah keputusan pengusiran Al-Bukhari dari negeri kelahirannya, sehingga yang diharapkan, kesan orang bahwa pengusiran itu karena semata-mata alasan agama dan bukan alasan yang lainnya.
Tetapi Allah Maha Tahu dan Dia membongkar segala kejahatan di balik alasan-alasan yang memakai atribut agama itu. Sehingga yang tertulis dalam sejarah Islam sampai hari ini adalah kesan buruk terhadap perbuatan Khalid bin Ahmad As-Sadusi dan Huraits bin Abil Waraqa’. Dan bukan kesan buruk yang dibikin-bikin oleh para pencoleng fatwa ulama itu. Camkanlah! Pengkhianatan dan kedustaan itu berulang-ulang terus dari masa ke masa. Hanya saja pemainnya yang berganti-ganti. Tetapi semua itu akan menjadi sejarah bagi anak cucu di belakang hari sebagaimana sejarah pengkhianatan dan kedustaan terhadap Al-Imam Al-Bukhari yang sekarang menjadi pergunjingan bagi generasi ini.
1). Al-Qur’anul Karim
2). At-Tarikhul Kabir, Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Darul Fikr, tanpa tahun.
3). Kitabuts Tsiqat, Al-Imam Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Abi Hatim At-Tamimi Al-Busti, darul Fikr, th. 1393 H / 1993 M.
4). Kitabul Jarh wat Ta`dil, Al-Imam Abi Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim At-Tamimi Al-Handlali Ar-Razi, darul Fikr, tanpa tahun.
5). Khalqu Af’alil Ibad, Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Muassasatur Risalah, th. 1411 H / 1990 M.
6). Tarikh Baghdad, Al-Imam Abi Bakr Ahmad bin Ali Al-Khatib Al-Baghdadi, Darul Fikr, tanpa tahun.
7). Al-Ikmal, Al-Amir Al-Hafidh Ali bin Hibatullah Abi Naser bin Makula, Darul Kutub Al-Ilmiah, th. 1411 H / 1990 M.
8). Thabaqatul Hanabilah, Al-Qadli Abul Husain Muhammad bin Abi Ya’la, Darul Ma’rifah, Beirut, Libanon, tanpa tahun.
9). Rijal Shahih Al-Bukhari, Al-Imam Abu Naser Ahmad bin Muhammad bin Al-Husain Al-Bukhari Al-Kalabadzi, Darul Baaz, th. 1407 H / 1987 M.
10). Al-Kamil fit Tarikh, Al-Allamah Ibnu Atsir, Darul Fikr, tanpa tahun.
11). Tahdzibul Kamal, Al-Hafidh Abil Hajjaj Yusuf Al-Mizzi, Muassasatur Risalah, th. 1413 H / 1992 M.
12). Kitab Tadzkratul Huffadl, Al-Imam Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad Adz-Dzahabi, Darul Kutub Al-Ilmiah, tanpa tahun.
13). Siyar A`lamin Nubala’, Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi, Muassasatur Risalah, th. 1417 H / 1996 M.
14). Al-Bidayah wan Nihayah, Al-Hafidh Abul Fida’ Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Darul Kutub Al-Ilmiyah, th. 1408 H / 1988 M.
15). Hadyus Sari Muqaddimah Fathul Bari, Al-Imam Al-Hafidh Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Al-Maktabah As-Salafiyah, tanpa tahun.
16). Qaidah fi Jarh wat Ta’dil, Al-Imam Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali As-Subki, Al-Maktabah Al-Ilmiah, Lahore, Pakistan, th. 1403 H / 1983 M.
Imam Muslim (206-261 H)
Nama lengkapnya ialah Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an-Naisaburi. Ia juga mengarang kitab As-Sahih (terkenal dengan Sahih Muslim). Ia salah seorang ulama terkemuka yang namanya tetap dikenal hingga kini. Ia dilahirkan di Naisabur pada tahun 206 H. menurut pendapat yang sahih sebagaimana dikemukakan oleh al-Hakim Abu Abdullah dalam kitabnya ‘Ulama’ul Amsar.*
Kehidupan untuk Mencari Ilmu Ia belajar hadits sejak masih dalam usia dini, yaitu mulaii tahun 218 H. Ia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara negara lainnya.
Dalam perjalannanya Imam Muslim banyak mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Di Irak ia belajar hadits kepada Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas’Abuzar; di Mesir berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan kepada ulama ahli hadits yang lain.
Muslim berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits, dan kunjungannya yang terakhir pada 259 H. di waktu Imam Bukhari datang ke Naisabur, Muslim sering datang kepadanya untuk berguru, sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az-Zihli, ia bergabung kepada Bukhari, sehingga hal ini menjadi sebab terputusnya hubungan dengan Az-Zihli. Muslim dalam Sahihnya maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az-Zihli padahal ia adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan terhadap Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadits dalam Sahihnya, yang diterimanya dari Bukhari, padahal iapun sebagai gurunya. Nampaknya pada hemat Muslim, yang lebih baik adalah tidak memasukkan ke dalam Sahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu, dengan tetap mengakui mereka sebagai guru.
Guru-gurunya
Selain yang telah disebutkan di atas, Muslim masih mempunyai banyak ulama
yang menjadi gurunya. Di antaranya : Usman dan Abu Bakar, keduanya putra Abu Syaibah; Syaiban bin Farwakh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harb, Amr an-Naqid, Muhammad bin al-Musanna, Muhammad bin Yassar, Harun bin Sa’id al-Ayli, Qutaibah bin Sa’id dan lain sebagainya.
yang menjadi gurunya. Di antaranya : Usman dan Abu Bakar, keduanya putra Abu Syaibah; Syaiban bin Farwakh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harb, Amr an-Naqid, Muhammad bin al-Musanna, Muhammad bin Yassar, Harun bin Sa’id al-Ayli, Qutaibah bin Sa’id dan lain sebagainya.
Keahlian dalam Hadits
Apabila Imam Bukhari merupakan ulama terkemuka di bidang hadits sahih, berpengetahuan luas mengenai ilat-ilat dan seluk beluk hadits, serta tajam kritiknya, maka Imam Muslim adalah orang kedua setelah Imam Bukhari, baik dalam ilmu dan pengetahuannya maupun dalam keutamaan dan kedudukannya.
Imam Muslim banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama ahli hadits maupun ulama lainnya. Al-Khatib al-Baghdadi berketa, “Muslim telah mengikuti jejak Bukhari, memperhatikan ilmunya dan menempuh jalan yang dilaluinya.” Pernyataan ini tidak berarti bahwa Muslim hanyalah seorang pengekor. Sebab, ia mempunyai cirri khas dan karakteristik tersendiri dalam menyusun kitab, serta metode baru yang belum pernah diperkenalkan orang sebelumnya.
Abu Quraisy al-Hafiz menyatakan bahwa di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Muslim (Tazkiratul Huffaz, jilid 2, hal. 150). Maksud perkataan tersebut adalah ahli ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy, sebab ahli hadits itu cukup banyak jumlahnya.
Karya-karya Imam Muslim
Imam Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya, di antaranya :1. Al-Jami’ as-Sahih (Sahih Muslim).
2. Al-Musnadul Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para perawi hadits).
3. Kitabul-Asma’ wal-Kuna.
4. Kitab al-’Ilal.
5. Kitabul-Aqran.
6. Kitabu Su’alatihi Ahmad bin Hambal.
7. Kitabul-Intifa’ bi Uhubis-Siba’.
8. Kitabul-Muhadramin.
9. Kitabu man Laisa lahu illa Rawin Wahid.
10. Kitab Auladis-Sahabah.
11. Kitab Awhamil-Muhadditsin.
Kitab Sahih Muslim
Di antara kitab-kitab di atas yang paling agung dan sangat bermanfat luas, serta masih tetap beredar hingga kini ialah Al Jami’ as-Sahih, terkenal dengan Sahih Muslim. Kitab ini merupakan salah satu dari dua kitab yang paling sahih dan murni sesudah Kitabullah. Kedua kitab Sahih ini diterima baik oleh segenap umat Islam.
Imam Muslim telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meneliti dan mempelajari keadaan para perawi, menyaring hadits-hadits yang diriwayatkan, membandingkan riwayat riwayat itu satu sama lain. Muslim sangat teliti dan hati-hati dalam menggunakan lafaz-lafaz, dan selalu memberikan isyarat akan adanya perbedaan antara lafaz-lafaz itu. Dengan usaha yang sedeemikian rupa, maka lahirlah kitab Sahihnya.
Bukti kongkrit mengenai keagungan kitab itu ialah suatu kenyataan, di mana Muslim menyaring isi kitabnya dari ribuan riwayat yang pernah didengarnya. Diceritakan, bahwa ia pernah berkata: “Aku susun kitab Sahih ini yang disaring dari 300.000 hadits.”
Diriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, yang berkata : “Aku menulis bersama Muslim untuk menyusun kitab Sahihnya itu selama 15 tahun. Kitab itu berisi 12.000 buah hadits.”
Dalam pada itu, Ibn Salah menyebutkan dari Abi Quraisy al-Hafiz, bahwa jumlah hadits Sahih Muslim itu sebanyak 4.000 buah hadits. Kedua pendapat tersebut dapat kita kompromikan, yaitu bahwa perhitungan pertama memasukkan hadits-hadits yang berulang-ulang penyebutannya, sedangkan perhitungan kedua hanya menghitung hadits-hadits yang tidak disebutkan berulang.
Imam Muslim berkata di dalam Sahihnya: “Tidak setiap hadits yang sahih menurutku, aku cantumkan di sini, yakni dalam Sahihnya. Aku hanya mencantumkan hadits-hadits yang telah disepakati oleh para ulama hadits.” .
Imam Muslim pernah berkata, sebagai ungkapan gembira atas karunia Tuhan yang diterimanya: “Apabila penduduk bumi ini menulis hadits selama 200 tahun, maka usaha mereka hanya akan berputar-putar di sekitar kitab musnad ini.”
Ketelitian dan kehati-hatian Muslim terhadap hadits yang diriwayatkan dalam Sahihnya dapat dilihat dari perkataannya sebagai berikut : “Tidaklah aku mencantumkan sesuatu hadits dalam kitabku ini, melainkan dengan alasan; juga tiada aku menggugurkan sesuatu hadits daripadanya melainkan dengan alasan pula.”
Imam Muslim di dalam penulisan Sahihnya tidak membuat judul setiap bab secara terperinci. Adapun judul-judul kitab dan bab yang kita dapati pada sebagian naskah Sahih Muslim yang sudah dicetak, sebenarnya dibuat oleh para pengulas yang datang kemudian. Di antara pengulas yang paling baik membuatkan judul-judul bab dan sistematika babnya adalah Imam Nawawi dalam Syarahnya.
Imam Muslim wafat pada ahad sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. dalam usia 55 tahun.
Disalin dari biografi Imam Muslim dalam Kutubus Sittah Abu Syuhbah 59
Ibnu Majah (wafat 273 H)
Nama sebenarnya Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al-Qazwini dari desa Qazwin, Iran. Lahir tahun 209 dan wafat tahun 273. Beliau adalah muhaddits ulung, mufassir dan seorang alim. Beliau memiliki beberapa karya diantaranya adalah Kitabus Sunan, Tafsir dan Tarikh Ibnu Majah.
Ia melakukan perjalanan ke berbagai kota untuk menulis hadits, anatara lain Ray, Basrah, Kufah, Baghdad, Syam, Mesir dan Hijaz.
Ia menerima hadit dari guru gurunya antara lain Ibn Syaibah, Sahabatnya Malik dan al-Laits. Abu Ya’la berkata,” Ibnu Majah seorang ahli ilmu hadits dan mempunyai banyak kitab”.
Beliau menyusun kitabnya dengan sistematika fikih, yang tersusun atas 32 kitab dan 1500 bab dan jumlah haditsnya sekitar 4.000 hadits. Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi menghitung ada sebanyak 4241 hadits di dalamnya. Sunan Ibnu Majah ini berisikan hadits yang shahih, hasan, dhaif bahkan maudhu’. Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi mengkritik ada hampir 30 hadits maudhu di dalam Sunan Ibnu Majah walaupun disanggah oleh as-Suyuthi.
Ibnu Katsir berkata,” Ibnu Majah pengarang kitab Sunan, susunannya itu menunjukan keluasan ilmunya dalam bidang Usul dan furu’, kitabnya mengandung 30 Kitab; 150 bab, 4.000 hadits, semuanya baik kecuali sedikit saja”.
Al-Imam al-Bushiri (w. 840) menulis ziadah (tambahan) hadits di dalam Sunan Abu Dawud yang tidak terdapat di dalam kitabul khomsah (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Nasa’i dan Sunan Tirmidzi) sebanyak 1552 hadits di dalam kitabnya Misbah az-Zujajah fi Zawaid Ibni Majah serta menunjukkan derajat shahih, hasan, dhaif maupun maudhu’. Oleh karena itu, penelitian terhadap hadits-hadits di dalamnya amatlah urgen dan penting.
Ia wafat pada tahun 273 H
Disalin dari riwayat Ibnu Majah dalam Tarikh Ibnu Katsir 11: 66,67
Abu Hatim (Wafat 277 H)
Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Idris bin Mundzir bin Daud bin Mihran Abu Hatim al-Hardhaly, Ia seorang imam hafidh yang kepercayaan serta mengetahui illat illat hadits jarah dan ta’dil.
Ia adalah teman Abu Zur’ah, beliau banyak mendengarkan hadits dan melawat ke berbagai kota. Ia meriwayatkan hadits dari ulama ulama besar. Ia pernah berkata kepada anaknya Abdurahman :” Hai anakku, aku telah pernah berjalan kaki lebih dari 1.000 farsakh untuk mencari hadits.”.
Sering ia bercerita dalam majelis kepda para hafidh, ‘barang siapa yang dapat memberikan kepada saya satu hadits yang belum pernah saya ketahui, maka saya sedekahkan satu dirham’. Maka tidak seorangpun yang dapat mengemukakan kepadanya suatu hadits yang belum dihapal oleh beliau. Padahal yang hadir terdapat Abu Zur’ah.
Ulama hadist mengakui ketinggian ilmu beliau dalam ilmu hadits beserta illat illatnya. Al Hakim menggolongkan dia kedalam golongan fuqaha hadits.
Ia wafat pada tahun 277 H
Disalin dari riwayat Abu Hatim dalam Tarikh Ibnu Katsir 11:59
Abu Zur’ah (wafat 264 H)
Nama sebenarnya adalah Abdulah bi Abdul Karim, seorang hafidh besar yang terkenal, teman temannya mengakui kelebihannya dalam ilmu hadits, Abu Zur’ah seorang penghapal hadits dan seorang yang mendhabitkannya.
Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam kitabnya Ma’rifatu Ulumil Hadits, bahwa diwaktu Qutaibah bin Sa’ad pergi ke Rai, penduduknya meminta kepadanya.agar mengeluarkan hadits, Maka Qutaibah menolak dan berkata,” Apakah yang aku riwayatkan kepada kamu sesudah majlisku dihadiri Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma’in, Ali ibn Mahdy, Abu Bakar ibn Abi Syainah dan Abu Khuzaimah?”.
Mereka berkata kepadanya : disini ada seorang pemuda yang dapat menyebutkan segala apa yang telah anda riwayatkan dari majlis ke majlis, maka Abu Zur’ah pun menyebut hadits satu per satu.
Al-Hakim menggolongkan beliau ini ke dalam golongan fuqaha hadits.
Ia wafat pada tahun 264 H.
Disalin dari riwayat Abu Zur’ah dalam Tarikh Ibnu Katsir 11:37
Imam Abu Dawud
Beliau lahir sebagai seorang ahli urusan hadits, juga dalam masalah fiqh dan ushul serta masyhur akan kewara’annya dan kezuhudannya. Kefaqihan beliau terlihat ketika mengkritik sejumlah hadits yang bertalian dengan hukum, selain itu terlihat dalam penjelasan bab-bab fiqih atas sejumlah karyanya, seperti Sunan Abu Dawud.
Al-Imam al-Muhaddist Abu Dawud lahir pada tahun 202 H dan wafat pada tahun 275 H di Bashrah. Sepanjang sejarah telah muncul para pakar hadist yang berusaha menggali makna hadist dalam berbagai sudut pandang dengan metoda pendekatan dan sistem yang berbeda, sehingga dengan upaya yang sangat berharga itu mereka telah membuka jalan bagi generasi selanjutnya guna memahami as-Sunnah dengan baik dan benar.
Di samping itu, mereka pun telah bersusah payah menghimpun hadits-hadits yang dipersilisihkan dan menyelaraskan di antara hadits yang tampak saling menyelisihi. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga kewibawaan dari hadits dan sunnah secara umum. Abu Muhammad bin Qutaibah (wafat 267 H) dengan kitab beliau Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits telah membatah habis pandangan kaum Mu’tazilah yang mempertentangkan beberapa hadits dengan al-Quran maupun dengan rasio mereka.
Selanjutnya upaya untuk memilahkan hadits dari khabar-khabar lainnya yang merupakan hadits palsu maupun yang lemah terus dilanjutkan sampai dengan kurun al-Imam Bukhari dan beberapa penyusun sunan dan lainnya. Salah satu kitab yang terkenal adalah yang disusun oleh Imam Abu Dawud yaitu sunan Abu Dawud. Kitab ini memuat 4800 hadits terseleksi dari 50.000 hadits.
Beliau sudah berkecimpung dalam bidang hadits sejak berusia belasan tahun. Hal ini diketahui mengingat pada tahun 221 H, beliau sudah berada di baghdad. Kemudian mengunjungi berbagai negeri untuk memetik langsung ilmu dari sumbernya. Beliau langsung berguru selama bertahun-tahun. Diantara guru-gurunya adalah Imam Ahmad bin Hambal, al-Qa’nabi, Abu Amr adh-Dhariri, Abu Walid ath-Thayalisi, Sulaiman bin Harb, Abu Zakariya Yahya bin Ma’in, Abu Khaitsamah, Zuhair bin Harb, ad-Darimi, Abu Ustman Sa’id bin Manshur, Ibnu Abi Syaibah dan lain-lain.
Sebagai ahli hukum, Abu Dawud pernah berkata: Cukuplah manusia dengan empat hadist, yaitu: Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya; termasuk kebagusan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat; tidaklah keadaan seorang mukmin itu menjadi mukmin, hingga ia ridho terhadap saudaranya apa yang ia ridho terhadap dirinya sendiri; yang halal sudah jelas dan yang harampun sudah jelas pula, sedangkan diantara keduanya adalah syubhat.
Beliau menciptakan karya-karya yang bermutu, baik dalam bidang fiqh, ushul,tauhid dan terutama hadits. Kitab sunan beliaulah yang paling banyak menarik perhatian, dan merupakan salah satu diantara kompilasi hadits hukum yang paling menonjol saat ini. Tentang kualitasnya ini Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah berkata: Kitab sunannya Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats as-sijistani rahimahullah adalah kitab Islam yang topiknya tersebut Allah telah mengkhususkan dia dengan sunannya, di dalam banyak pembahasan yang bisa menjadi hukum diantara ahli Islam, maka kepadanya hendaklah para mushannif mengambil hukum, kepadanya hendaklah para muhaqqiq merasa ridho, karena sesungguhnya ia telah mengumpulkan sejumlah hadits ahkam, dan menyusunnya dengan sebagus-bagus susunan, serta mengaturnya dengan sebaik-baik aturan bersama dengan kerapnya kehati-hatian sikapnya dengan membuang sejumlah hadits dari para perawi majruhin dan dhu’afa. Semoga Allah melimpahkan rahmat atas mereka dan mem- berikannya pula atas para pelanjutnya.
Imam At-Tirmidzi (209-279 H)
Nama lengkapnya adalah Imam al-Hafidz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak As-Sulami at-Tirmidzi, salah seorang ahli hadits kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyur lahir pada 279 H di kota Tirmiz.
Perkembangan dan Perjalanannya
Kakek Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Irak, Khurasan dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadits untuk mendengar hadits yang kem dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah. Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut.
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmidzi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun.
Guru-gurunya
Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadits dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmidzi belajar pula hadits dari sebagian guru mereka.
Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin al-Musanna dan lain-lain.
Murid-muridnya
Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.
Kekuatan Hafalannya
Abu ‘Isa aat-Tirmidzi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadits, kesalehan dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata:
“Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menuslis dua jilid berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahwa “dua jilid kitab” itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau garib, lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.”
Pandangan Para Kritikus Hadits Terhadapnya
Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadits, menggolangkan Tirmidzi ke dalam kelompok “Siqat” atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kokoh hafalannya, dan berkata: “Tirmidzi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadits, menyusun kitab, menghafal hadits dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama.”Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits menerangkan; Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi adalah seorang penghafal dan ahli hadits yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Sahih sebagai bukti atas keagungan derajatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadits yang sangat mendalam.
Fiqh Tirmidzi dan Ijtihadnya
Imam Tirmidzi, di samping dikenal sebagai ahli dan penghafal hadits yang mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, ia juga dikenal sebagai ahli fiqh yang mewakili wawasan dan pandangan luas. Barang siapa mempelajari kitab Jami’nya ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya terhadap berbagai mazhab fikih. Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya. Salah satu contoh ialah penjelasannya terhadap sebuah hadits mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut: “Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi az-Zunad, dari al-A’rai dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, bersabda: ‘Penangguhan membayar utang yang dilakukan oleh si berutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan utang itu diterimanya.” Imam Tirmidzi memberikan penjelasan sebagai berikut: Sebagian ahli ilmu berkata: ” apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil.” Diktum ini adalah pendapat Syafi’i, Ahmad dan Ishaq. Sebagian ahli ilmu yang lain berkata: “Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal ‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil).” Mereka memakai alas an dengan perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan: “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim.” Menurut Ishak, maka perkataan “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim” ini adalah “Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu.”
Itulah salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, bahwa betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Tirmidzi dalam memahami nas-nas hadits, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu.
Karya-karyanya
Imam Tirmidzi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya: 1. Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi. 2. Kitab Al-‘Ilal. 3. Kitab At-Tarikh. 4. Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah. 5. Kitab Az-Zuhd. 6. Kitab Al-Asma’ wal-kuna. Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.
Sekilas tentang Al-Jami’
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmidzi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolonga salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmidzi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmidzi. Namun nama pertamalah yang popular.
Sebagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar as-Sahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Sahih Tirmidzi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.
Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmidzi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: “Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasan, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara.”
Imam Tirmidzi di dalam Al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadits sahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadits-hadits hasan, da’if, garib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya.
Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadits-hadits yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh karenanya, ia meriwayatkan semua hadits yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu sahih ataupun tidak sahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadits.
Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata: “Semua hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan.” Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadits, yaitu: Pertama, yang artinya: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menjamak shalat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab “takut” dan “dalam perjalanan.”
“Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.” Hadits ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli hadits juga Ibnu Munzir.
Hadits-hadits da’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut fada’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti karena persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan mengamalkan) hadits semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadits-hadits tentang halal dan haram.
Disalin dari Biografi Tirmidzi dalam Kutubus Sittah;Abu Syuhbah no.83
Imam al-Nasa’i (215-303 H)
Nama lengkap Imam al-Nasa’i adalah Abu Abd al-Rahman Ahmad bin Ali bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr al-khurasani al-Qadi. Lahir di daerah Nasa’ pada tahun 215 H. Ada juga sementara ulama yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 214 H. Beliau dinisbahkan kepada daerah Nasa’ (al-Nasa’i), daerah yang menjadi saksi bisu kelahiran seorang ahli hadis kaliber dunia. Beliau berhasil menyusun sebuah kitab monumental dalam kajian hadis, yakni al-Mujtaba’ yang di kemudian hari kondang dengan sebutan Sunan al-Nasa’i.
Pengembaraan intelektual
Pada awalnya, beliau tumbuh dan berkembang di daerah Nasa’. Beliau berhasil menghafal al-Qur’an di Madrasah yang ada di desa kelahirannya. Beliau juga banyak menyerap berbagai disiplin ilmu keagamaan dari para ulama di daerahnya. Saat remaja, seiring dengan peningkatan kapasitas intelektualnya, beliaupun mulai gemar melakukan lawatan ilmiah ke berbagai penjuru dunia. Apalagi kalau bukan untuk guna memburu ilmu-ilmu keagamaan, terutama disiplin hadis dan ilmu Hadis.
Belum genap usia 15 tahun, beliau sudah melakukan mengembar ke berbagai wilayah Islam, seperti Mesir, Hijaz, Iraq, Syam, Khurasan, dan lain sebagainya. Sebenarnya, lawatan intelektual yang demikian, bahkan dilakukan pada usia dini, bukan merupakan hal yang aneh dikalangan para Imam Hadis. Semua imam hadis, terutama enam imam hadis, yang biografinya banyak kita ketahui, sudah gemar melakukan perlawatan ilmiah ke berbagai wilayah Islam semenjak usia dini. Dan itu merupakan ciri khas ulama-ulama hadis, termasuk Imam al-Nasa’i.
Kemampuan intelektual Imam al-Nasa’i menjadi kian matang dan berisi dalam masa pengembaraannya. Namun demikian, awal proses pembelajarannya di daerah Nasa’ tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena justru di daerah inilah, beliau mengalami proses pembentukan intelektual, sementara masa pengembaraannya dinilai sebagai proses pematangan dan perluasan pengetahuan.
Guru dan murid
Seperti para pendahulunya: Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan Imam al-Tirmidzi, Imam al-Nasa’i juga tercatat mempunyai banyak pengajar dan murid. Para guru beliau yang nama harumnya tercatat oleh pena sejarah antara lain; Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abi Dawud), serta Imam Abu Isa al-Tirmidzi (penyusun al-Jami’/Sunan al-Tirmidzi).
Sementara murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah beliau, antara lain; Abu al-Qasim al-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu’jam), Abu Ja’far al-Thahawi, al-Hasan bin al-Khadir al-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin al-Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr al-Dalaby, dan Abu Bakrbin Ahmad al-Sunni. Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai “penyambung lidah” Imam al-Nasa’i dalam meriwayatkan kitab Sunan al-Nasa’i.
Sudah mafhum dikalangan peminat kajian hadis dan ilmu hadis, para imam hadis merupakan sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa ketekunannya inilah, para imam hadis kerap kali menghasilkan karya tulis yang tak terhingga nilainya.
Tidak ketinggalan pula Imam al-Nasa’i. Karangan-karangan beliau yang sampai kepada kita dan telah diabadikan oleh pena sejarah antara lain; al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra (kitab ini merupakan bentuk perampingan dari kitab al-Sunan al-Kubra), al-Khashais, Fadhail al-Shahabah, dan al-Manasik. Menurut sebuah keterangan yang diberikan oleh Imam Ibn al-Atsir al-Jazairi dalam kitabnya Jami al-Ushul, kitab ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi’i.
Kitab al-Mujtaba
Sekarang, karangan Imam al-Nasa’i paling monumental adalah Sunan al-Nasa’i. Sebenarnya, bila ditelusuri secara seksama, terlihat bahwa penamaan karya monumental beliau sehingga menjadi Sunan al-Nasa’i sebagaimana yang kita kenal sekarang, melalui proses panjang, dari al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra, al-Mujtaba, dan terakhir terkenal dengan sebutan Sunan al-Nasa’i.
Untuk pertama kali, sebelum disebut dengan Sunan al-Nasa’i, kitab ini dikenal dengan al-Sunan al-Kubra. Setelah tuntas menulis kitab ini, beliau kemudian menghadiahkan kitab ini kepada Amir Ramlah (Walikota Ramlah) sebagai tanda penghormatan. Amir kemudian bertanya kepada al-Nasa’i, “Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadis shahih?” Beliau menjawab dengan kejujuran, “Ada yang shahih, hasan, dan adapula yang hampir serupa dengannya”.
Kemudian Amir berkata kembali, “Kalau demikian halnya, maka pisahkanlah hadis yang shahih-shahih saja”. Atas permintaan Amir ini, beliau kemudian menyeleksi dengan ketat semua hadis yang telah tertuang dalam kitab al-Sunan al-Kubra. Dan akhirnya beliau berhasil melakukan perampingan terhadap al-Sunan al-Kubra, sehingga menjadi al-Sunan al-Sughra. Dari segi penamaan saja, sudah bisa dinilai bahwa kitab yang kedua merupakan bentuk perampingan dari kitab yang pertama.
Imam al-Nasa’i sangat teliti dalam menyeleksi hadis-hadis yang termuat dalam kitab pertama. Oleh karenanya, banyak ulama berkomentar “Kedudukan kitab al-Sunan al-Sughra dibawah derajat Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Di dua kitab terakhir, sedikit sekali hadis dhaif yang terdapat di dalamnya”. Nah, karena hadis-hadis yang termuat di dalam kitab kedua (al-Sunan al-Sughra) merupakan hadis-hadis pilihan yang telah diseleksi dengan super ketat, maka kitab ini juga dinamakan al-Mujtaba. Pengertian al-Mujtaba bersinonim dengan al-Maukhtar (yang terpilih), karena memang kitab ini berisi hadis-hadis pilihan, hadis-hadis hasil seleksi dari kitab al-Sunan al-Kubra.
Disamping al-Mujtaba, dalam salah satu riwayat, kitab ini juga dinamakan dengan al-Mujtana. Pada masanya, kitab ini terkenal dengan sebutan al-Mujtaba, sehingga nama al-Sunan al-Sughra seperti tenggelam ditelan keharuman nama al-Mujtaba. Dari al-Mujtaba inilah kemudian kitab ini kondang dengan sebutan Sunan al-Nasa’i, sebagaimana kita kenal sekarang. Dan nampaknya untuk selanjutnya, kitab ini tidak akan mengalami perubahan nama seperti yang terjadi sebelumnya.
Kritik Ibn al-Jauzy
Kita perlu menilai jawaban Imam al-Nasa’i terhadap pertanyaan Amir Ramlah secara kritis, dimana beliau mengatakan dengan sejujurnya bahwa hadis-hadis yang tertuang dalam kitabnya tidak semuanya shahih, tapi adapula yang hasan, dan ada pula yang menyerupainya. Beliau tidak mengatakan bahwa didalamnya terdapat hadis dhaif (lemah) atau maudhu (palsu). Ini artinya beliau tidak pernah memasukkan sebuah hadispun yang dinilai sebagai hadis dhaif atau maudhu’, minimal menurut pandangan beliau.
Apabila setelah hadis-hadis yang ada di dalam kitab pertama diseleksi dengan teliti, sesuai permintaan Amir Ramlah supaya beliau hanya menuliskan hadis yang berkualitas shahih semata. Dari sini bisa diambil kesimpulan, apabila hadis hasan saja tidak dimasukkan kedalam kitabnya, hadis yang berkualitas dhaif dan maudhu’ tentu lebih tidak berhak untuk disandingkan dengan hadis-hadis shahih.
Namun demikian, Ibn al-Jauzy pengarang kitab al Maudhuat (hadis-hadis palsu), mengatakan bahwa hadis-hadis yang ada di dalam kitab al-Sunan al-Sughra tidak semuanya berkualitas shahih, namun ada yang maudhu’ (palsu). Ibn al-Jauzy menemukan sepuluh hadis maudhu’ di dalamnya, sehingga memunculkan kritik tajam terhadap kredibilitas al-Sunan al-Sughra. Seperti yang telah disinggung dimuka, hadis itu semua shahih menurut Imam al-Nasa’i. Adapun orang belakangan menilai hadis tersebut ada yang maudhu’, itu merupakan pandangan subyektivitas penilai. Dan masing-masing orang mempunyai kaidah-kaidah mandiri dalam menilai kualitas sebuah hadis. Demikian pula kaidah yang ditawarkan Imam al-Nasa’i dalam menilai keshahihan sebuah hadis, nampaknya berbeda dengan kaidah yang diterapkan oleh Ibn al-Jauzy. Sehingga dari sini akan memunculkan pandangan yang berbeda, dan itu sesuatu yang wajar terjadi. Sudut pandang yang berbeda akan menimbulkan kesimpulan yang berbeda pula.
Kritikan pedas Ibn al-Jauzy terhadap keautentikan karya monumental Imam al-Nasa’i ini, nampaknya mendapatkan bantahan yang cukup keras pula dari pakar hadis abad ke-9, yakni Imam Jalal al-Din al-Suyuti, dalam Sunan al-Nasa’i, memang terdapat hadis yang shahih, hasan, dan dhaif. Hanya saja jumlahnya relatif sedikit. Imam al-Suyuti tidak sampai menghasilkan kesimpulan bahwa ada hadis maudhu’ yang termuat dalam Sunan al-Nasa’i, sebagaimana kesimpulan yang dimunculkan oleh Imam Ibn al-Jauzy. Adapun pendapat ulama yang mengatakan bahwah hadis yang ada di dalam kitab Sunan al-Nasa’i semuanya berkualitas shahih, ini merupakan pandangan yang menurut Muhammad Abu Syahbah_tidak didukung oleh penelitian mendalam dan jeli. Kecuali maksud pernyataan itu bahwa mayoritas (sebagian besar) isi kitab Sunan al-Nasa’i berkualitas shahih.
Komentar Ulama
Imam al-Nasa’i merupakan figur yang cermat dan teliti dalam meneliti dan menyeleksi para periwayat hadis. Beliau juga telah menetapkan syarat-syarat tertentu dalam proses penyeleksian hadis-hadis yang diterimanya. Abu Ali al-Naisapuri pernah mengatakan, “Orang yang meriwayatkan hadis kepada kami adalah seorang imam hadis yang telah diakui oleh para ulama, ia bernama Abu Abd al Rahman al-Nasa’i.”
Lebih jauh lagi Imam al-Naisapuri mengatakan, “Syarat-syarat yang ditetapkan al-Nasa’i dalam menilai para periwayat hadis lebih ketat dan keras ketimbang syarat-syarat yang digunakan Muslim bin al-Hajjaj.” Ini merupakan komentar subyektif Imam al-Naisapuri terhadap pribadi al-Nasa’i yang berbeda dengan komentar ulama pada umumnya. Ulama pada umumnya lebih mengunggulkan keketatan penilaian Imam Muslim bin al-Hajjaj ketimbang al-Nasa’i. Bahkan komentar mayoritas ulama ini pulalah yang memposisikan Imam Muslim sebagai pakar hadis nomer dua, sesudah al-Bukhari.
Namun demikian, bukan berarti mayoritas ulama merendahkan kredibilitas Imam al-Nasa’i. Imam al-Nasa’i tidak hanya ahli dalam bidang hadis dan ilmu hadis, namun juga mumpuni dalam bidang figh. Al-Daruquthni pernah mengatakan, beliau adalah salah seorang Syaikh di Mesir yang paling ahli dalam bidang figh pada masanya dan paling mengetahui tentang Hadis dan para rawi. Al-Hakim Abu Abdullah berkata, “Pendapat-pendapat Abu Abd al-Rahman mengenai fiqh yang diambil dari hadis terlampau banyak untuk dapat kita kemukakan seluruhnya. Siapa yang menelaah dan mengkaji kitab Sunan al-Nasa’i, ia akan terpesona dengan keindahan dan kebagusan kata-katanya.”
Tidak ditemukan riwayat yang jelas tentang afiliansi pandangan fiqh beliau, kecuali komentar singkat Imam Madzhab Syafi’i. Pandangan Ibn al-Atsir ini dapat dimengerti dan difahami, karena memang Imam al-Nasa’i lama bermukim di Mesir, bahkan merasa cocok tinggal di sana. Beliau baru berhijrah dari Mesir ke Damsyik setahun menjelang kewafatannya.
Karena Imam al-Nasa’i cukup lama tinggal di Mesir, sementara Imam al-Syafi’i juga lama menyebarkan pandangan-pandangan fiqhnya di Mesir (setelah kepindahannya dari Bagdad), maka walaupun antara keduanya tidak pernah bertemu, karena al-Nasa’i baru lahir sebelas tahun setelah kewafatan Imam al-Syafi’i, tidak menutup kemungkinan banyak pandangan-pandangan fiqh Madzhab Syafi’i yang beliau serap melalui murid-murid Imam al-Syafi’i yang tinggal di Mesir. Pandangan fiqh Imam al-Syafi’i lebih tersebar di Mesir ketimbang di Baghdad. Hal ini lebih membuka peluang bagi Imam al-Nasa’i untuk bersinggungan dengan pandangan fiqh Syafi’i. Dan ini akan menguatkan dugaan Ibn al-Atsir tentang afiliasi mazhab fiqh al-Nasa’i.
Pandangan Syafi’i di Mesir ini kemudian dikenal dengan qaul jadid (pandangan baru). Dan ini seandainya dugaan Ibn al-Atsir benar, mengindikasikan bahwa pandangan fiqh Syafi’i dan al-Nasa’i lebih didominasi pandangan baru (Qaul Jadid, Mesir) ketimbang pandangan klasik (Qaul Qadim, Baghdad).
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa Imam al-Nasa’i merupakan sosok yang berpandangan netral, tidak memihak salah satu pandangan mazhab fiqh manapun, termasuk pandangan Imam al-Syafi’i. Hal ini seringkali terjadi pada imam-imam hadis sebelum al-Nasa’i, yang hanya berafiliasi pada mazhab hadis. Dan independensi pandangan ini merupakan ciri khas imam-imam hadis. Oleh karena itu, untuk mengklaim pandangan Imam al-Nasa’i telah terkontaminasi oleh pandangan orang lain, kita perlu menelusuri sumber sejarah yang konkrit, bukannya hanya berdasarkan dugaan.
Tutup Usia
Setahun menjelang kemangkatannya, beliau pindah dari Mesir ke Damsyik. Dan tampaknya tidak ada konsensus ulama tentang tempat meninggal beliau. Al-Daruqutni mengatakan, beliau di Makkah dan dikebumikan diantara Shafa dan Marwah. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-’Uqbi al-Mishri.
Sementara ulama yang lain, seperti Imam al-Dzahabi, menolak pendapat tersebut. Ia mengatakan, Imam al-Nasa’i meninggal di Ramlah, suatu daerah di Palestina. Pendapat ini didukung oleh Ibn Yunus, Abu Ja’far al-Thahawi (murid al-Nasa’i) dan Abu Bakar al-Naqatah. Menurut pandangan terakhir ini, Imam al-Nasa’i meninggal pada tahun 303 H dan dikebumikan di Bait al-Maqdis, Palestina. Inna lillah wa Inna Ilai Rajiun. Semoga jerih payahnya dalam mengemban wasiat Rasullullah guna menyebarluaskan hadis mendapatkan balasan yang setimpal di sisi Allah. Amiiin.
No comments:
Post a Comment
Silahkan luangkan waktu anda untuk memberikan Sedikit Komentar Buat Kemajuan Blog ini.. Setetes Komentar anda sangat berarti buat saya ok tulis yaaa..