Saya ingin menanyakan beberapa hal : 1. Jenis binatang yang boleh dibunuh. 2. Sehubungan ada kasus ditempat saya mengenai pembasmian anjing. Namun ada pendapat yang satu membolehkan dan kelompok lain menentang. Untuk itu saya mohon penjelasan yang sejelas-jelasnya sesuai ketentuan syar'i serta alasan kapan ia boleh dan pada kondisi yang bagaimana tidak diperbolehkan dibunuh.
Tanya Jawab (231) Hukum Pembasmian Anjing
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh Bapak Kiyai Pengasuh Ponpes Virtual Ykh. Saya ingin menanyakan beberapa hal :
1. Jenis binatang yang boleh dibunuh.
2. Sehubungan ada kasus ditempat saya mengenai pembasmian anjing. Namun ada pendapat yang satu membolehkan dan kelompok lain menentang. Untuk itu saya mohon penjelasan yang sejelas-jelasnya sesuai ketentuan syar'i serta alasan kapan ia boleh dan pada kondisi yang bagaimana tidak diperbolehkan dibunuh. Jazakallahu khairon katsiro' Wass. Wr.Wb
Badrudin
Jawab :
(1) - Para Ulama membuat beberapa kategori hewan dalam konteks boleh tidaknya dibunuh, sebagai berikut : 1) Hewan bernaluri buas, berpopulasi di tempat yang jauh dari kehidupan manusia, seperti binatang buas yang hidup di hutan belantara dan di gurun atau di pegunungan. Hewan jenis ini boleh dibunuh untuk, misalnya untuk menghilangkan ancamannya atau untuk dimanfaatkan anggotanya badannya, seperti untuk diambil kulitnya.
2) hewan yang tidak bernaluri buas, namun bisa menjadi buas kalau diganggu, seperti anjing dan kucing. Hewan jenis ini bila membahayakan atau mengganggu ketertiban umum, bisa dibunuh, seperti anjing yang menyerang orang, atau anjing gila, atau kucing yang memangsa hewan ternak dan piaraan.
3) hewan yang membahayakan manusia dan sering hidup ditengah populasi manusia, seperti ular, kalajengking. Hewan jenis ini dianjurkan untuk dibunuh dalam kondisi apapun. Dalam sebuah hadist nabi pernah bersabda "Lima jenis hewan yang harus dibunuh, baik di tanah haram maupun di tanah biasa, yaitu : ular, kalajengking, tikus, anjing buas dan burung rajawali" (H.R. Abu Daud) dalam riwayat lain disebutkan juga burung gagak.
4) Hewan yang tidak membahayakan, namun dianjurkan untuk dibunuh seperti cicak dan tokek, karena menurut riwayat ketika nabi Ibrahim dihukum bakar olah raja Namrud, binatang ini ikut meniup apinya. (H.R. Bukhari, Ibnu Majah, Ahmad)
5) Jenis serangga yang memang boleh dibunuh untuk dimakan, seperti belalang. (H.R. Bukhari dll.). Ada beberapa jenis serangga yang danjurkan untuk tidak dibunuh, yaitu semut, lebah, burung hudhud dan burung Surrad". (H.R. Bukhari & Muslim), semut di sini oleh para ulama adalah semut besar, atau sering disebut semut Sulaiman, adapaun semut kecil boleh dibunuh, hanya ulama Maliki yang menghukumi makruh membunuhnya. Serangga atau hewan kecil lainnya, kalau memang membahayakan atau menimbulkan malapetaka, seperti burung, belalang, tikus dlsb. boleh membunuhnya dan bahkan dianjurkan. Hukum ini dilandaskan kepada kaidah hukum Islam "semua yang menimbulkan bahaya (madharrat) harus dihilangkan".
Begitu juga serangga semacam nyamuk yang menimbulkan penyakit harus diberantas, meskipun dengan menggunakan bahan kimia.
(2) - Sejarah persentuhan fikih Islam dengan anjing.
Pertama kali, kami ingin menukil hadits di Shahih Muslim, dalam Kitab al-Musaqat, Bab 'Perintah Membunuh Anjing & Penjelasan Naskh/Tahrim Memeliharanya Kecuali Untuk Keperluan Berburu, Pertanian, Peternakan, dan semacamnya'. Hadits itu berbunyi demikian : "Diceritakan dari Muhammad bin Al-Mutsanna dan Ibnu Basyar --lafadznya versi Ibnu Al-Mutsanna--, mereka berkata : menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far, berkata : menceritakan kepada kami Su'bah, dari Qatadah dari Abi al-Hakam, berkata : Saya mendengar Abdullah bin [Syyd] Umar bercerita : Dari Rasulullah SAW, bersabda : Barang siapa mengambil anjing, kecuali anjing [untuk keperluan] bertani atau berburu, pahalanya berkurang, setiap hari 1 'qirath'. Dalam riwayat lain pahalanya dikurangi 2 qirath. [Qirath adalah semacam satuan-satuan tertentu].
Melihat hadits ini, para ulama sebenarnya tidaklah sebagaimana yang kita kira, yaitu secara beramai-ramai membenarkan pembunuhan seluruh anjing, dengan berbagai jenisnya. Saya pikir, saya pun pernah punya 'dzann' demikian. Tapi, marilah kita perhatikan lebih lanjut. Yang pernah kita dapat dari pelajaran hadits, memang ada dua kelompok ulama yang berbeda pendapat.
Satu memaknai hadits Rasul SAW tersebut dengan perintah membunuh seluruh macam anjing, sedang yang kedua mengatakan hanya anjing-anjing tertentu saja yang diperbolehkan membunuh. Tidak disebutkan mana yang pendapat jumhur dan mana yang pendapat minor, tetapi dalam literatur-literatur disebutkan : pendapat yang menyatakan tidak semua anjing perlu dibunuh ternyata dikatakan lebih masyhur. Ulama tidak meneruskan perintah tersebut dengan perintah membunuh seluruh anjing, sekalipun teks dari Rasul cuman membatasi toleransinya kepada anjing-anjing "yang dibutuhkan tenaganya".
Menurut Ibnu Hajar, yang disepakati ulama adalah membunuh anjing yang 'aqur', alias yang suka menggigit. Kalau hanya demikian, sangat logis kalau anjing yang suka menggigit perlu dibunuh. Jangankan anjing, nyamuk, semut atau lalat kalau menggigit pasti kita bunuh, tanpa menunggu diperintah oleh Rasul SAW. Tentang ini, saya pertemukan hadits di atas dengan hadits riwayat Imam Bukhori dalam 'Kitabu Abwab al-Ihshar wa Jaza-u ash-Shayd', hadits nomor 1731. Hadits tersebut menyatakan sebagai berikut : Lima macam hewan yang jika membunuhnya tidak ada masalah : (1) Burung gagak [Ghurab], (2) Burung Rajawali [Had'ah], (3) Tikus [Al-Fa'ratu], (4) Kalajengking ['Aqrabu], dan (5) Anjing yang menggigit [Aqoor]. Tetapi, hadits-hadits di atas kurang kuat untuk meneguhkan hak-hak hidup anjing.
Saya ingin lagi menukil hadits lain, juga dari riwayat Imam Muslim. Terjemahan bebas riwayat tersebut begini : "Rasul telah memerintahkan kepada kita untuk membunuh anjing. Sampai [suatu saat] datanglah seorang wanita badui dengan membawa anjingnya, lalu ingin membunuhnya, begitu dia ketahu adanya perintah Rasul sebelumnya. Tapi, Rasul melarang dan bersabda : [Diwajibkan] atas kalian [cukup] membunuh anjing hitam yang memiliki dua bintik di matanya, sebab itu [bukan anjing melainkan] syetan. Hadits itu mungkin menjadi 'mubayyin' [penjelas] atas hadits-hadits lain, seperti juga hadits yang menceritakan penantian Rasul atas Jibril, tapi ternyata Jibril tidak mau masuk ke kediaman Rasul karena di dalamnya ada anjing. 'Kami tidak [mau] masuk rumah yang ada anjing dan gambar', demikian alasan Jibril tidak mau menemui Rasul SAW. [Dalam riwayat Bukhori melalui Abu Tholhah]. Kita kurang tahu pasti, kapan malaikat Jibril pertama kali tidak mau menemui Rasulullah s.a.w. karena di dalamnya ada anjing. Tapi, sekedar dugaan saja, statemen malaikat Jibril itu terjadi jauh setelah kelahiran Sayyidayna Hasan dan Husain. Sebab di masa kecilnya, kedua anak kecil itu diceritakan sering bermain-main dengan anjing. Artinya, anjing saat itu --sebelum kasus Jibril-- benar-benar anjing yang bebas menentukan jalan hidupnya, dan belum tersentuh oleh proses-proses kedatangan agama Islam. Baru setelah kejadian Jibril itu, eksistensi anjing agak tersisih yang -konon-- lantaran disisihkan oleh syariat Islam itu sendiri. Bahkan persoalannya tidak hanya malaikat Jibril yang enggan bertemu dengan anjing, disabdakan oleh Rasul SAW kalau piring kita terjilati anjing pun mesti dibersihkan dengan cara 7 kali cucian plus sekali menggunakan debu. Saya kira, ini tidak terjadi kepada anjing saja. Maksud saya, jika pada masa Rasul SAW hewan seperti harimau atau singa sering berkeliaran, saya yakin hewan-hewan itu juga akan masuk dalam proses pergulatan turunnya Islam, dan tentunya akan memenuhi pembahasan-pembahasan syariat.
Silang pendapat mengenai masalah najis anjing: Anjing menurut Syafi'ie dan Hanbali termasuk hewan yang najis mughalladloh (Kategori najis yang sangat kuat). Cara mencuci najis jenis ini harus dengan tujuh kali siraman dengan air dan salah satu dari tujuh siraman tersebut harus dicampur dengan debu. Mazhab ini dilandaskan kepada hadist Rasulullah : "Jika seekor anjing menjilat periuk kalian, maka basuhlah tujuh kali yang mana salah satunya menggunakan debu" (H.R. Muslim). Akan tetapi mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa yang najis dari anjing adalah liurnya, bukan tubuhnya. Menurut mazhab Maliki mencuci najis anjing sebanyak tujuh kali dengan salah satu menggunakan debu adalah semata masalah ibadah, bukan karena najis itu sendiri.
***
Demikian, lepas dari najis tidaknya anjing, kiranya kita tidak boleh melakukan pembunuhan kepada hewan-hewan yang tak bersalah. Hewan-hewan itu bisa menuntut kita di hari akhir. Dalam riwayat Ibnu Hibban dari Tharid At-Thaqafi, Rasulullah s.a.w. bersabada" Kelak di Hari Kiamat, seorang yang membunuh burung kecil dengan sia-sia akan dihadapkan kepada Allah dan dipertanyakan perbuatannya, mengapa membunuh burung tersebut dengan sia-sia dan tidak membunuhnya demi suatu manfaat?". Semoga dipahami.
Wassalam,
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Silahkan luangkan waktu anda untuk memberikan Sedikit Komentar Buat Kemajuan Blog ini.. Setetes Komentar anda sangat berarti buat saya ok tulis yaaa..