Hukum wanita Haid membaca Alqur`an memang ada 2 pendapat. Bagi yang
membolehkan karena keberadaan Haditsnya Dloif. Sedangkan jika anda
ingin memegang mushaf saat tilawah(dlm keadaan Haidl) maka untuk lebih
hati-hatinya dengan mushaf tarjamah, walaupun sebenarnya tidak termasuk
berdosa jika anda tetap menggunkan mushaf yang biasa.berikut saya
sertakan tambahan beberapa penjelasan tentang hal tsb.
Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a
“Artinya : Dari jalan Abdul Malik bin Maslamah (ia berkata) Telah menceritakan kepadaku Mughirah bin Abdurrahman, dari Musa bin Uqbah dan Naafi, dari Ibnu Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh bagi orang junub membaca sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur’an”
Menurut sebagian para Ulama’ kedudukan hadits ini adalah DhA’IF. Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni (1/117)
Al-Hafidz Ibnu Hajar telah melemahkan riwayat di atas disebabkan Abdul Malik bin Maslamah seorang rawi yang dla’if (Talkhisul Habir 1/138)
Hadits yang lain dari jalan Ibnu Umar.
“Artinya : Dari seorang laki-laki, dari Abu Ma’syar, dari Musa bin Uqbah, dari Naafi, dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Perempuan yang haid dan orang yang junub, keduanya tidak boleh membaca sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur’an”
Hadits ini juga DhA’IF menurut sebagian Ulama’. Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni (1/117)
Riwayat ini dha’if karena :
Pertama : Ada seorang Rawi yang mubham (tidak disebut namanya yaitu dari seorang laki-laki).
Kedua : Abu Ma’syar seorang Rawi yang dha’if.
Hadits yang lain dari jalan Jabir bin Abdullah.
“Artinya : Dari jalan Muhammad bin Fadl, dari bapaknya, dari Thawus, dari Jabir, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh bagi perempuan yang haidh dan nifas (dalam riwayat yang lain : Orang yang junub) membaca (ayat) Al-Qur’an sedikitpun juga (dalam riwayat) yang lain : Sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur’an)”
Sedangkan kedudukan hadits ini MAUDHU’, Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni (2/87) dan Abu Nua’im di kitabnya Al-Hilyah (4/22).
Ketika hadits-hadits diatas dari semua jalannya dha’if bahkan hadits terakhir maudhu’, maka tidak bisa dijadikan sebagai dalil larangan bagi perempuan haidh dan nifas dan orang yang junub membaca Al-Qur’an. Bahkan telah datang sejumlah dalil yang membolehkannya.
Apabila tidak ada satu pun dalil yang sah (shahih dan hasan) yang melarang perempuan haidh, nifas dan orang yang junub membaca ayat-ayat Al-Qur’an, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal tentang perintah dan keutamaan membaca Al-Qur’an secara mutlak termasuk perempuan haidh, nifas dan orang yang junub.
Hadits ‘Aisyah ketika dia haidh sewaktu menunaikan ibadah haji.
“Artinya : Dari ‘Aisyah, ia berkata : Kami keluar (menunaikan haji) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan) kami tidak menyebut kecuali haji. Maka ketika kami sampai di (satu tempat bernama) Sarif aku haid. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemuiku dan aku sedang menangis, lalu beliau bertanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?” Jawabku, “Aku ingin demi Allah kalau sekiranya aku tidak haji pada tahun ini?” Jawabku, “Ya” Beliau bersabda, “Sesungguhnya (haidh) ini adalah sesuatu yang telah Allah tentukan untuk anak-anak perempuan Adam, oleh karena itu kerjakanlah apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang sedang haji selain engkau tidak boleh thawaf di Ka’bah sampai engkau suci (dari haidh)”
Shahih riwayat Bukhari (no. 305) dan Muslim (4/30)
Hadits yang mulia ini juga dijadikan hujjah oleh Al-Imam Al-Bukhari dan yang lain tentang bolehnya orang yang junub dan perempuan haidh atau nifas membaca Al-Qur’an. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah atas segala keadaannya dan yang termasuk berdzikir ialah membaca Al-Qur’an.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikra [2] (Al-Qur’an) ini, dan sesungguhnya Kami jugalah yang akan (tetap) menjaganya” [Al-Hijr : 9]
“Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikra (Al-Qur’an) supaya engkau jelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan agar supaya mereka berfikir” [An-Nahl : 44]
Meskipun demikian menyebut nama Allah atau membaca Al-Qur’am dalam keadaan suci (berwudhu) lebih utama yakni hukumnya sunat berdasarkan hadits shahih di bawah ini.
“Artinya : Dari Muhaajir bin Qunfudz, sesungguhnya dia pernah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang buang air kecil (kencing), lalu ia memberi salam kepada beliau akan tetapi beliau tidak menjawab (salam)nya sampai beliau berwudlu. Kemudian beliau beralasan dan bersabda : ”Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah (berdzikir) kecuali dalam keadaan suci (berwudlu)” [Hadits shahih riwayat Abu Dawud dan lain-lain]
Wallahu ‘alam Bishshowab
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Silahkan luangkan waktu anda untuk memberikan Sedikit Komentar Buat Kemajuan Blog ini.. Setetes Komentar anda sangat berarti buat saya ok tulis yaaa..