Islam menganggap dosa besar bagi seorang suami yang mengabaikan kewajiban ini, sebagaimana disebutkan didalam riwayat Abu Daud dari Abdullah bin 'Amr, ia berkata; Rasulullah saw bersabda: "Cukuplah dosa bagi seseorang dengan ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya."
Didalam sabdanya saw yang lain yang diriwayatkan oleh Muslim disebutkan : "Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa orang-orang yang menahan makan (upah dan sebagainya) orang yang menjadi tanggungannya."
Islam tidaklah menuntut besar kecilnya penghasilan atau rezeki yang didapat seseorang akan tetapi yang dituntut darinya hanyalah berusaha semaksimal mungkin untuk bisa mendapatkan rezekinya itu, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhori dari Az Zubair bin Al 'Awam dari Nabi saw bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh seorang dari kalian yang mengambil talinya lalu dia mencari seikat kayu bakar dan dibawa dengan punggungnya kemudian dia menjualnya lalu Allah mencukupkannya dengan kayu itu lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada manusia, baik manusia itu memberinya atau menolaknya".
Umar bin Khottob pernah mengatakan,”Tidak sepantasnya seorang dari kalian hanya duduk-duduk saja tidak mencari rezeki dan hanya berdoa,’Wahai Allah berikanlah aku rezeki.’ Bukankah kalian telah mengetahui bahwa langit tidak akan menurunkan emas dan perak.”
Adapun besaran dari nafkah yang harus diberikan seorang suami kepada istri dan anak-anaknya tergantung kepada kemampuan si suami. Semakin tinggi kelas ekonominya maka ia harus semakin memberikan kelayakan hidup bagi keluarganya dan sebaliknya ketika suami memiliki tingkat ekonomi yang rendah maka si istri juga harus bisa memahaminya tanpa harus menuntutnya dengan sesuatu yang diluar batas kemampuan dan kesanggupannya.
Kewajiban memberikan nafkah ini tidaklah hilang dari diri seorang suami walaupun istrinya seorang yang kaya raya atau memiliki penghasilan sendiri. Tidak ada salahnya bagi seorang istri untuk mengingatkan suaminya akan kewajiban ini terlebih jika tampak adanya pengabaian terhadap kewajiban ini didalam dirinya.
Dan jika seorang suami tetap mengabaikan kewajibannya memberikan nafkah kepada keluarganya sehingga si istri harus menafkahi sendiri kebutuhan diri dan keluarganya dengan hartanya maka biaya yang dikeluarkannya selama itu menjadi utang yang harus dibayar oleh suaminya. Suami tetap diwajibkan membayar utang tersebut walaupun hal itu terjadi selama bertahun-tahun lamanya selama si istri belum merelakannya.
engabaian ini juga menjadikan si istri memiliki hak meminta kepada hakim agar memaksa suaminya untuk memenuhi kebutuhannya atau agar memisahkan mereka berdua dari tali perkawinan.
Didalam kitab ”al Mausu’ah” disebutkan bahwa para fuqaha telah bersepakat kewajiban memberikan nafkah istri ada pada suaminya dikarenakan akad sah (perkawinannya)... Jika seorang suami tidak menunaikan kewajiban ini tanpa adanya penghalang yang berasal dari istrinya maka si istri memiliki hak untuk meminta nafkahnya tersebut melalui hakim sehingga si hakim mengambil dari suaminya secara paksa. Akan tetapi jika si suami tidak memberikan nafkahnya dikarenakan adanya penghalang dari istrinya, maka dirinya tidak bisa dipaksa untuk mengeluarkan nafkahnya itu.
Lalu apakah bisa seorang istri memiliki hak menuntut pisah dari suaminya jika dia menahan tidak memberikan nafkahnya tanpa adanya sebab ?
Pada fuqaha berbeda pendapat dalam hal ini dalam beberapa keadaan namun mereka bersepakat didalam beberapa keadaan yang lain, sebagai berikut :
1. Jika si suami yang menahan dari memberikan nafkahnya itu memiliki harta yang tampak maka dibolehkan bagi istrinya untuk mengambil nafkahnya itu dari suaminya baik dengan sepengetahuan si suami atau tidak, baik dilakukannya sendiri atau melalui seorang hakim. Dan dalam hal ini tidak ada bagi istrinya hak untuk menuntut pisah karena dimungkinkan baginya untuk mendapatkan nafkahnya itu tanpa perlu adanya pemisahan.
Dalam hal ini, sama saja baik si suami berada di negerinya atau tidak, baik harta suaminya itu ada dihadapannya atau tidak, baik hartanya itu berupa uang atau alat transportasi atau perkebunan yang dimungkinkan untuk diambil darinya.
Sedangkan pendapat yang paling masyhur dari dua pendapat Syafi’i adalah bahwa jika harta si suami yang tampak itu ada dihadapannya maka tidak diperbolehkan pemisahan (suami-istri). Akan tetapi jika harta itu berada jauh darinya sejauh jarak qashar shalat maka dibolehkan bagi si istri untuk menuntut pisah. Jika keadaannya tidak seperti demikian maka urusannya diserahkan kepada hakim untuk mendatangkan harta itu dan tidak ada hak istri menuntut pemisahan.
Jika keadaannya tidaklah diketahui apakah dirinya dalam keadaan kaya atau susah maka tidak ada pemisahan karena sebab (untuk pemisahan) tidaklah terwujud.
2. Apabila seorang suami yang menahan nafkahnya tidaklah memiliki harta yang tampak baik dikarenakan kesulitannya (miskin) atau tidak diketahui keberadaan hartanya itu atau dikarenakan suaminya itu menghilangkan hartanya maka si istri mengangkat permasalahan ini kepada hakim untuk menuntut pisah dari suaminya itu dikarenakan sebab-sebab diatas. Meski terjadi perselisihan dikalangan fuqaha tentang pembolehan pemisahan ini menjadi dua pendapat : para ulama Hanafi tidak membolehkannya... sementara para ulama Maliki dan Hambali memberikan kepadanya pilihan : tetap mempertahankan ikatan suami istri dan menjadikan pembiayaan nafkahnya sebagai utang atas suaminya atau mengangkat permasalahan ini kepada hakim untuk menuntut pemisahan pernikahannya... (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 10346 – 10347)
Dan pendapat yang kuat adalah bahwa seorang istri yang tidak mendapatkan nafkah dari suaminya memiliki hak untuk menuntut pemisahan dirinya dari suaminya dikarenakan kuatnya dalil-dalil yang menunjukkan hal itu, sebagaimana dikatakan jumhur fuqaha.
فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Artinya : ”Menggenggam (istri) dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqoroh : 229)
Pada ayat diatas Allah memberikan dua pilihan kepada seorang suami antara menggenggam dengan cara yang ma’ruf yaitu memberikan nafkah kepadanya atau menceraikannya dengan cara yang baik pula jika dirinya tidak bisa memberikan nafkah kepadanya.
Wallahu A’lam
Hukum Gaji Isteri untuk Suami
Kewajiban memberikan nafkah keluargaIslam mewajibkan seorang suami untuk memberikan nafkah kepada keluarganya sesuai dengan batas kemampuannya, berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur’an, Sunnah dan ijma para ulama :
1. Firman Allah swt,”..Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS. Al Baqoroh : 233)
2. Firman Allah swt,”Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS. Ath Thalaq : 6)
3. Sabda Rasulullah saw,”Berilah dia (istrimu) makan tatkala kamu makan, berilah dia pakaian tatkala kamu berpakaian..” (HR. Abu Daud)
4. Adapun ijma; dikarenakan umat telah bersepakat dalam hal ini.
Nafkah di sini adalah memenuhi kebutuhan makan, minum, pakaian, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, perabotan, dan pengobatan istri ketika sakit.
Pemberian nafkah ini adalah menjadi hak yang harus diterima seorang istri yang telah diikat dengan ikatan perkawinan yang sah dan telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada suaminya. Maka ketika haknya tidak dipenuhi oleh suaminya sementara ia mempunyai kemampuan dan kesanggupan sungguh ia telah berlaku zhalim terhadapnya.
Adapun besaran dari nafkah yang harus diberikan seorang suami kepada keluarganya sangatlah tergantung kepada kemampuan si suami. Semakin tinggi kelas ekonominya maka ia harus semakin memberikan kelayakan hidup bagi keluarganya dan sebaliknya ketika suami memiliki tingkat ekonomi yang rendah maka si istri juga harus bisa memahaminya tanpa harus menuntutnya dengan sesuatu yang diluar batas kemampuan dan kesanggupannya.
Sedekah Istri kepada Suami
Pada dasarnya tugas seorang wanita (ibu) adalah di rumahnya memberikan pelayanan terbaik buat suaminya, mendidik anak-anaknya dan mempersiapkan mereka untuk menjadi generasi terbaik umat ini. Tugas yang tidak bisa dilakukan kecuali melalui tangan seorang ibu. Pekerjaan ini tidaklah kalah beratnya dengan suaminya yang keluar mencari nafkah. Pekerjaan yang membutuhkan keseriusan, ketelatenan, kecerdasan dan keistiqomahan serta tidak ada batas waktu kerja melainkan full 24 jam berbeda dengan pekerjaan seorang suami di luar rumah.
Untuk itu wajar ketika dikatakan bahwa ibu adalah sekolah bagi anak-anaknya, ibulah yang mencetak karakter dan sifat seorang anak, menanamkan pola fakir dan akhlaknya serta memberikan dasar-dasar ketahanan didalam dirinya untuk mengarungi masa depannya.
Namun demikian bukan berarti seorang wanita dilarang (diharamkan) menurut syariat bekerja di luar rumah karena pada dasarnya asal segala sesuatu itu mubah (dibolehkan) ketika tidak ada keterangan dari syara’ yang melarangnya.
Terkadang wanita dituntut bekerja untuk memenuhi kebutuhannya, seperti jika dia seorang janda yang mempunyai anak-anak yang masih kecil, atau ia hidup sebatang kara, penghasilan suami yang tidak mencukupi kebutuhan harian keluarganya meskipun dia sudah menghabiskan waktunya untuk itu, atau membantu orang tuannya yang sudah tua dan lainnya.
Atau terkadang lapangan pekerjaan di masyarakat yang membutuhkan para wanita, seperti guru wanita untuk anak-anak wanita, perawat, bidan, dokter kandungan dan lainnya. Setiap wanita yang bekerja di luar rumah juga dituntut untuk tetap bisa menjaga diri dan kehormatannya serta menghindarkan hal-hal yang bisa menjatuhkan dirinya ke dalam fitnah.
Adapun penghasilan yang didapat seorang istri dalam pekerjaannya adalah hak dia sepenuhnya dan dia berhak membelanjakannya sesuai dengan keinginannya. Tidak dibolehkan bagi seorang suami untuk terlalu intervensi didalamnya akan tetapi diperbolehkan baginya memberikan pertimbangan dan menasehatinya manakala ada kesalahan dalam membelanjakannya.
Seorang suami tidak berhak melarangnya untuk berinfak dan bersedekah kepada siapapun yang dikehendakinya atau membelanjakannya untuk kepentingan dirinya sendiri. Namun demikian si istri tetap dituntut untuk bijak didalam membelanjakan dan mensedekahkan harta tersebut. Ia juga harus bisa menentukan skala prioritas didalam membelanjakannya janganlah dia mendahulukan sesuatu yang komplemen dari pada yang sekunder atau yang sekunder daripada yang primer.
Sebagaimana ditunjukan didalam sebuah hadits saat datang Zaenab istri Ibnu Mas’ud ke rumah Rasulullah saw dan meminta izin dari beliau saw. Dikatakan kepada Rasulullah saw, ”Wahai Rasulullah saw ini Zaenab.” Beliau saw bertanya, ’Zaenab yang mana?’ Dijawab, ’istrinya Ibnu Masud.’ Beliau saw berkata, ’Ya silahkan.’ maka diizinkanlah dia untuk masuk. Dia bertanya, ’Wahai Nabi Allah, pada hari ini engkau memerintahkan untuk bersedekah. Aku mempunyai perhiasan dan aku ingin sedekahkan sedang aku melihat bahwa Ibnu Masud dan anaknya lebih berhak untuk menerima sedekahku.’ Kemudian Nabi saw bersabda, ’Ibnu Mas’ud suamimu dan anak lelakimu lebih berhak untuk menerima sedekah.” (HR. Bukhori)
Wallahu A’lam
No comments:
Post a Comment
Silahkan luangkan waktu anda untuk memberikan Sedikit Komentar Buat Kemajuan Blog ini.. Setetes Komentar anda sangat berarti buat saya ok tulis yaaa..