Qiyas menurut bahasa, artinya ialah "Mengukur sesuatu dengan sesuatu dan mempersamakannya". Dan menurut istilah Qiyas itu artinya ialah : Menetapkan sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya. Berdasarkan sesuatu hukum yang sudah ditentukan oleh Nash, disebabkan adanya persamaan".
KEDUDUKAN QIYAS :
Qiyas menurut para Ulama, adalah Hujjah (pegangan) Syar'iyah yang ke-empat. Sesudah Al-Qur-aan, Hadits, dan Ijma’ Ulama. Mereka berpendapat demikian dengan berpegang kepada
a) Firman Allah SWT :
فَـاعْــتَــبِــيْــرُوْا يَـآ اُوْ لىِ اْلاَ بــْـصَارِ
"Hendaklah kamu mengambil I’tibar (contoh / ibarat / pelajaran). Hai orang-orang yang berfikiran". (Q.S. Al-Hasyr : 2)
Karena i’itibar artinya adalah "Qiyash-Syai’i-bisy-Syai’ (Membanding sesuatu dengan sesuatu yang lain). Berpegang kepada Hadits Rasulullah Saw :
قَـوْ لُــهُ صَـلَّى الـلّـــهُ عَـلَــيْـهِ وَ سَـلَّـمَ لــِمُــعًاذٍ رَضِيَ الـلّــهُ عَـنْـهُ لَــمَّا بَــعَــثَــهُ إِلىَ الْــيَـمَـنِ : كَـــيْـفَ تَــقْـضِى إِ ذَا عَـرَضَ لـِكَ قَـضَـاءٌ ؟
قَالَ : أَ قْـضِ بِـكِــتَـابِ الـلّــهِ! قَالَ : فَـإِ نْــلَـمْ تَــجِـدْ فِى كِـــتَـابِ الـلّــــهِ ؟ قَالَ : فَــبِسُــنَّـةِ رَسُـوْ لِ الـلّــــهِ ! قَالَ : فَـإِنْ لَــمْ تَــجِـدْ فِى سُــنَّــةِ رَسُـوْ لِ الـلّـــــــهِ وَ لاَ فِى كِــتَابِ الـلّــــــــــهِ ؟ قَالَ : أَجْــتَــهِـدُ رَ أَ بِـيْ وَ لاَ أَ لُـوْ ا! فَـضَرَ بَ رَسُـوْ لِ الـلّـــهِ صَـدْ رَ هُ وَ قَالَ : أَ لـحَــمْـدُ لـِلّـــهِ ا لَّـذِ يْ وَ فَّـقَ رَسُـوْ لِ الـلّـــهِ لــِمَا يَـرْ ضَا هُ رَ سُـوْ لُ الـلّــــهِ
"Sabda Nabi.Saw. ketika beliau mengutus Mu’az ra. ke Yaman, maka Nabi bertanya : Dengan apa kamu menetapkan perkara yang datang kepadamu ? Mu’az berkata :"Saya akan memberi keputusan dengan Kitab Allah". Nabi. Saw. bersabda :"Jika kamu tidak mendapatkannya dalam Kitab Allah ?" Mu’az ber kata: "Dengan Sunnah Rasul". Nabi. Saw bertanya lagi :"Kalau pada Kitab Allah dan Sunnah Rasul tidak kamu dapati ?" Mu’az berkata : "Saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali". Kemudian Rasulullah Saw Menepuk-nepuk Dada (pundak) Mu’az, (bergirang hati) sambil bersab da :"Alhamdulillah. Allah telah memberi Taufiq kepada pesuruh Rasulullah. Sesuai dengan Keridho-an Rasulullah". (H.R. Muslim. Ahmad. Abu Daud. At-Turmudzi. Mereka menyatakan bahwa Qiyas itu termasuk Ijtihad Ro’yu juga)
RUKUN QIYAS ADA EMPAT :
1. Asal/pokok (pangkal) yang menjadi ukuran/tempat menyerupakan (Musyababih : Benda atau Tempat menyerupakan untuk menyampaikan faham)
2. Far’un/cabang yang di ukuran (Musyabab : yang diserupakan).
3. Illat/Sebab, yaitu yang menghubungkan pangkal dan cabang permasalahan.
4. Hukum yang ditetapkan pada Far’i, sesudah tetap pada asal pokoknya.
CONTOH :
Allah telah mengharamkan Arak, karena ia merusak ‘Akal dan merusak Tubuh. Serta bisa menghabiskan harta. Maka segala Minuman atau Makanan yang memabukkan dihukumkan Haram juga.
CONTOH DALAM PENGAMBILAN HUKUM :
1. Segala yang memabukkan ialah Far’un/cabang. Artinya yang di Qiyaskan.
2. Arak. Adalah yang dijadikan ukuran atau tempat menyerupakan dan meng-Qiyaskan Hukum. Artinya asal/pokoknya.
3. Mabuk itu merusak ‘Akal. Adalah Illat, yaitu yang menghubungkan atau sebab dari yang me rusak ‘Akal tersebut.
4. Hukumnya. Segala Minuman dan Makanan yang memabukkan dihukumkan "Haram". Tidak ada terkecuali.
Setelah kita mengetahui rukun-rukun Qiyas itu ada 4 macam. Yaitu asal pokok atau pangkal hadirnya sebab. Dan Far’un/Far’i adalah (cabang) kehadiran penyebabnya. Dan Illat adalah (penghubung) bisa hadirnya sebab dan penyebab. Maka keputusan Hukum berjalan atas mereka. Yaitu menetapkan Haram hukumnya. untuk ini, kita wajib pula mengetahui apa syarat-syarat dari masing-masing.
1. Asal / Pokok itu ada tiga macam
a) Hukum asal harus tetap berlaku, karena kalau sudah tidak berlaku lagi berarti sudah dirobah atau mansukh (dihilangkan). Niscaya tidak mungkin Far’i (cabang) bisa berdiri sendiri.
b) Hukum yang berlaku pada asal. Adalah hukum Syara’, karena yang sedang kita bahas ini, adalah Hukum Syara’ yakni Hukum Agama Islam.
c) Hukum pokok/asal tidak merupakan hukum pengecualian. Seperti Sah-nya Puasa bagi orang yang lupa. Meskipun ia makan dan minum. Mestinya Puasa tersebut sudah menjadi batal. Sebab segala sesuatu tidak akan ada, apabila berkumpul dengan hal-hal yang meniadakannya. Tetapi Puasanya tetap saja ada. Karena Rasulullah Saw. bersabda :
"Barangsiapa lupa, padahal ia sedang Puasa. Kemudian ia makan dan minum. Maka hendaklah ia menyelesaikan Puasanya. Sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum”. (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
Berhubung dengan Hadits tersebut. Maka orang yang dipaksa tidak dapat di Qiyaskan dengan orang yang lupa.
2. Syarat-syarat Far’i (Cabang) ada tiga
a) Hukum Far’i (cabang) janganlah berujud lebih dahulu daripada Hukum asal/pokok. Misalnya meng-Qiyaskan Wudhuk kepada Tayamum. Di dalam berkewajiban Niat dengan alasan bahwa kedua-duanya sama-sama Thoharoh. Qiyas tersebut tidak benar.
Karena Wudhuk (dalam contoh dan cabang) diadakan sebelum Hijrah. Sementara Tayamum (dalam contoh ini sebagai asal) diadakan sesudah Hijrah. Bila Qiyas tersebut dibenarkan, berarti menetapkan Hukum sebelum Illat (penghubung), yakni karena Wudhuk itu berlaku sebelum Tayamum.
b) Illat hendaknya menyamai Illat asal yang pertama.
c) Illat hendaknya menyamai Illat pada asal yang pertama
d) Hukum yang ada pada Far’i itu menyamai Hukum asal.
2. Syarat-syarat Far’i (Cabang) ada tiga
a) Hukum Far’i (cabang) janganlah berujud lebih dahulu daripada Hukum asal/pokok. Misalnya meng-Qiyaskan Wudhuk kepada Tayamum. Di dalam berkewajiban Niat dengan alasan bahwa kedua-duanya sama-sama Thoharoh. Qiyas tersebut tidak benar.
Karena Wudhuk (dalam contoh dan cabang) diadakan sebelum Hijrah. Sementara Tayamum (dalam contoh ini sebagai asal) diadakan sesudah Hijrah. Bila Qiyas tersebut dibenarkan, berarti menetapkan Hukum sebelum Illat (penghubung), yakni karena Wudhuk itu berlaku sebelum Tayamum.
b) Illat hendaknya menyamai Illat asal yang pertama.
c) Illat hendaknya menyamai Illat pada asal yang pertama
d) Hukum yang ada pada Far’i itu menyamai Hukum asal.
3. Syarat-syarat ‘Illat ada tiga
a) Hendaknya ‘Illat itu berturut-turut, artinya jika ‘Illat itu ada. Maka dengan sendirinya Hukum-pun ada.
b) Dan sebaliknya apabila Hukum ada. Illat pun harus ada.
c) Illat (penghubung) jangan sampai bertentangan Nash, karena ‘Illat itu, tidak dapat mengalahkan Nash. Maka dengan demikian tentu Nash lebih dahulu mengalahkan ‘Illat.
Contoh :
Sebagian Ulama berpendapat bahwa Wanita dapat melakukan Nikah tanpa izin Walinya (tanpa Wali) dengan alasan bahwa wanita dapat memiliki dirinya sendiri. Di Qiyaskan kepada bolehnya ia menjual harta bendanya sendiri.
Qiyas tersebut tidak berlaku atau tidak dapat diterima. Karena berlawanan dengan Nash yang Qoth’i. Sebagai mana Sabda Rasulullah Saw :
أَ يـُّـمَا اَ مْرَ أَ ةٍ نِـكَـحَتْ بِـغَـيْـرِ إِ ذْنِ وَ لـِـيِّــهَـا فَـنِكَـاحُـهَـا بَـاطِلٌ
"Barangsiapa Wanita menikah dengan tidak se-izin Walinya (tanpa Wali). Maka Nikahnya batal". (H.R. Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
MACAM MACAM QIYAS
1. QIYAS AULAWI.
2. QIYAS MUSAWI.
3. QIYAS DHILALAH.
4. QIYAS SYIBH.
Untuk ini, kita dipersilahkan untuk mencari atau bertanya kepada Ahlinya. Karena pelajaran ini memang bukan untuk kita. Kita hanya mencari isi dari Qiyas tersebut. Maka kita padakan sampai disini. Namun sebaiknya kita mencari guru yang tangguh dalam hal ini.
14. Ijma' Ulama
Ijma'. Menurut bahasa, artinya adalah "Sepakat - Setuju - Sependapat". Tetapi istilah ialah :
إِ تِــفَافُ مُجْــتَــهِـدِى أُ مَّـةِ مُحَـمَّـدٍصَـلَّى الـلّــــهُ عَــلَــيْــهِ وَ سَــلَّـمَ بَــعْـدَ وَ فَا تِـهِ فِيْ عَـصْرٍ مِنَ اْلأَ عْصَارِعَـلىَ أُ مْـرٍ مِنَ اْلأُ مُـوْ رِ
"Kebulatan pendapat semua ahli Ijtihad umat Muhammad. Sesudah Wafatnya, pada suatu masa tentang suatu masalah adalah Hukum".
Ijma' itu, bisa menjadi Hujjah (pegangan) dengan sendirinya, ditempat yang tidak didapati dalil (Nashnya) di dalam Al-Qur-aan ataupun Hadits Nabi Saw. dan tidak menjadi Ijma' (sepakat) kecuali telah disepakati oleh semua ‘Ulama Islam. Dan selama tidak menyalahi Nash yang Qoth'i (Kitabullah dan Hadits Mutawatir). Dan pegangan Ijma' itu sendiri harus berdasarkan Al-Qur-aan dan Hadits, sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur-aan :
يـا يُّــهَاالَّذِ يْـنَ ا مَــنُـوْ ااَطِـيْـعُوالـلّـــهَ وَ اَطِـيْـعُواالـرَّسُـوْلَ وَ اُولىِ اْلاَ مْرِ مِـنْـكُمْ فَـاِنْ تَــنَا زَعْـتُـمْ فِيْ شَيْ ءٍ فَـرُدُّوْ هُ اِلَى الـلّــهِ وَ الـرَّ سُـوْلِ اِنْ كُــنْــتُـمْ تُــؤْ مِنُـوْانَ بِـالـلّــــهِ وَ الْــيْــوْ مِ اْلا خِــرِ ذ لـِكَ خَـــيْــرٌ وَّ اَ حْسَــنُ تَــأْ وِ يْــلاً
"Hai orang-orang yang beriman ! Ta'atilah Allah dan Ta'tilah Rasul-Nya. Serta patuhilah Ulil Amri di antara kamu. Sekiranya ada perbedaan pendapat di antara kamu tentang sesuatu (yang tidak ada ketegasan dalam Al-Qur-aan dan Sunnah Rasul).
Maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul (sunnahnya) Sekiranya kamu memang beriman kepada Allah dan hari Akhirat, demikian itulah yang lebih baik dan lebih tepat penyelesaiannya" (Q.S. An-Nisaa': 59)
Maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul (sunnahnya) Sekiranya kamu memang beriman kepada Allah dan hari Akhirat, demikian itulah yang lebih baik dan lebih tepat penyelesaiannya" (Q.S. An-Nisaa': 59)
Didalam ayat diatas ada kalimat "kembalikanlah kepada Allah dan sunnah Rasul-Nya". Disini dianjurkan ber-ijtihad menyerahkan segala sesuatu kepada Allah. Dengan cara Sholat Istikhoroh. Sholat istikhoroh ini adalah untuk memohon Petunjuk Allah SWT. Dengan demikian berarti kita telah mengembalikan segala persoalan yang sulit kepada Allah SWT yang labih faham dan lebih bijaksana memberi petunjuk kedalam Hati kita, mana yang baik dan mana yang buruk.
مَاخَابَ مَنِ اسْــتَـخَارَ ، وَ لاَ نَـدِ مَ مَنِ اسْــتَــشَارَ وَ لاَعَ لَ مَنِ اَ قْــتَــصَــدَ
"Tidak akan kecewa orang yang Istikharah (memohon pilihan yang lebih baik dari Allah). Dan tidak akan menyesal orang-orang yang Bermusyawarah. Dan tidak akan melarat orang yang hidup hemat" (H.R.At-Thabrani)
Jika kita benar-benar melaksanakan Sholat istikharah itu dengan baik dan benar, maka setelah selesai Sholat tersebut, Insya Allah akan mendapat Natijah dan Petunjuk dari Allah SWT. Jika belum dapat ulangi lagi.
عَجِـبْتُ لـِلْـمُـؤْ مِنْ إِ ذَا أَ صَا بَــهُ خَــيْـرٌحَمِدَ الـلّــهَ وَ شَكَـرَ، وَ إِذَ ا أَصَا بَــتْــهُ مُصِـيْــبَــةٌ حَـمِـدَ الـلّـــهَ وَصَــبَـرَ، فَالْـمُـؤْ مِنُ يُـؤْجَـرُ فِيْ كُلِّ أَ مْرِ هِ حَـتَّى يَـؤْجَرُفِى الـلُّــقْـمَـةِ يَـرْ فَــعُـهَا إِ لَى إِ مْـرَ أَ تـِــهِ
"AKU mengagumi seorang Mukmin. Bila ia memperoleh kebaikan ia memuji Allah. Dan bersyukur. Bila ia ditimpa Musibah maka ia akan memuji Allah dan bersabar. Seorang Mukmin diberi pahala dalam segala hal. Walaupun hanya sesuap makanan yang diangkatkannya ke mulut istrinya". (H.R. Ahmad dan Abu Daud)
Selanjutnya, jika kita memang benar-benar beriman kepada Allah Jalla Wa'azza. Dan Beriman kepada Rasul-Nya. Maka kita tidak akan sepakat jika keputusan di dalam Musyawarah itu tidak adil dan tidak benar-benar menurut kehendak Allah dan Sunnah Nabi Saw.
لاَ تَـجْــتَــمِــعُ اُ مَّــتِـيْ عَـلىَ الـضَّـــــلاَ لَــةِ
Umatku tidak akan pernah sepakat terhadap kesesatan
إِ تَّــقُـوْ افِـرَا سَـةَ ا لْـمُـؤْ مِنِ ، فَـإِ نَّــهُ يَــنْـظُـرُ بِــنُـوْرِ الـلّـــهِ
"Waspadalah terhadap Firasat seorang Mukmin. Sesungguhnya ia melihat dengan Nuur Allah". (H.R. At-Turmudzy dan Ath-Thabrany)
Sandaran Ijma' dipandang sah, jika mempunyai sandaran yang kuat. Sebab Ijma' itu bukanlah dalil yang berdiri sendiri. Sandaran Ijma' ada kalanya Dalil yang Qoth'iy (Qur-aan dan Hadits Mutawatir). Dan ada kalanya berupa dalil Dzonni (Hadits Ahad dan Qiyas). Jika sandaran Ijma' Hadits Ahad. Maka Hadits Ahad ini bertambah nilai kekuatannya.
Untuk itu, sangat baik jika kita belajar lagi untuk menambah ‘ilmu tentang hadit-hadits Nabi Saw. ini agar jangan sesat ditengah jalan.
IJMA' UMMAT TERSEBUT TERBAGI DUA
a) Ijma' Qouli. Ucapan, yaitu dimana para Ulama Ijtihad menetapkan pendapatnya. Baik dengan Lisan maupun Tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat Mujtahid lain pada masanya. Ijma' demikian ini disebut Ijma' Qoth'i.
b) Ijma' Diam. Ialah Ijma' dimana para Ulama Ijtihad berdiam diri, tiada mengeluarkan pendapatnya atas Mujtahid lain. Dan diamnya itu, bukan karena takut atau malu. Ijma' demikian ini disebut juga ijma' Dzonni.
Disamping Ijma' umat tersebut, masih ada macam-macam Ijma' yang lain, seperti tertulis dibawah ini :
1. Ijma' para Sahabat.
2. Ijma' Ulama Madinah.
3. Ijma' Ulama Kuffah.
4. Ijma' Ulama Khulafa-ur-Rasyidiin.
5. Ijma' Abu Bakar.
6. Ijma' Umar Ra.
7. Ijma' Itrah yakni Ahli bait.
8. Ijma' Golongan syi'ah.
7. Ijma' Itrah yakni Ahli bait.
8. Ijma' Golongan syi'ah.
Ditinjau dari segi masanya. Dapat dibagi menjadi dua
1. Ijma' Khalifah yang Empat
2. Ijma' Sesudahnya
1. Ijma' Sahabat yang dimaksud ialah Ijma' pada jaman Khalifah Abu Bakar ra. 'Umar ra. 'Utsman ra. 'Ali ra. Ijma' mereka-mereka ini, sudah jelas dapat dijadikan Hujjah (pegangan) tanpa perselisihan lagi. Sebab Nabi Saw. sendiri memrintahkan dengan Sabdanya :
عَــلَــيْــكُـمْ بِسُـنَّــتِى وَسُـنَّــتِى الْـخُــلَــفَاءِ الـرَّ اشِـدِ يْــنَ
"Hendaklah kamu sekalian berpegang kepada cara-caraku. Dan cara-cara Khulafaa-ur-Rasyidiin. (H.R. Abu Daud dan lain-lain)
2. Zaman sesudah Khulafaur-Rasyidiin, yaitu tatkala Islam telah meluas dan para Fuqohaa dan Sahabat telah banyak yang pindah ke Negeri Islam yang baru. Dan telah timbul Fuqohaa dari golongan Tabi’iin yang tidak sedikit. Ditambah lagi dengan pertentangan Politik. Maka jaman yang sedemikian ini sukarlah dibayangkan dapat terjadi Ijma’ (berkumpul dan sependapat ?).
Kalaulah pada jaman Tabi’iin saja sudah sukar terjadi Ijma’. Lebih-lebih pada jaman sekarang. Dimana para Ulama tersebar luas keseluruh pelosok. Sementara Sahnya Ijma’ ialah : "Kebulatan pendapat semua Ahli Ijtihad. Untuk mewujudkan ini, perlu penyelidikan :
Siapakah yang yang berhaq disebut Ahli Ijtihad ???
Menemukan pendapat Mujtahid yang disetujui oleh Mujtahid yang lainnya
Nah ! Siapakah yang sanggup menyelidiki untuk mengambil jawaban atas tiap-tiap soal, yang telah di setujui dan sepakat oleh tiap-tiap Ahli Ijtihad ?
Karena itu. Dapatlah kita mengerti pendapat Imam Ahmad bin Hanbal : "Barang siapa mengatakan ada Ijma' sesudah jaman Sahabat. Berarti ia berdusta". Cukuplah ia katakan : "aku tidak mengetahuinya". Apakah ada orang yang menentang faham ini ? Mungkin boleh jadi ada. "Namun aku belum mengetahui".
Ijma’ yang terjadi pada jaman sekarang ini, tidak berbeda dengan Ijma' (sependapat) dari keputusan Musyawarah yang diambil oleh para Ulama yang mewakili seluruh lapisan Masyarakat. Tidak lain hanya untuk membicarakan kepentingan-kepentingan mereka. Belum tentu cocok dengan pendapat yang lain. Itulah yang mereka anggap dan dinamai dengan Ulil Amri Minkum. Atau Ahlul Halli Wal 'Aqli. Mereka diberi haq oleh Masyarakat Islam untuk membuat undang-undang yang belum terdapat dalam Syara'. Keputusan mereka wajib dita'ati. Dan dijalankan selama tidak bertentangan dengan Nash-nash Syari'at, maka betapa dan bagaimana pun juga keputusan itu bisa saja batal. Terhadap Penduduk Dunia lainnya.
Demikianlah pendapat para Pakar-pakar Hukum Islam.
Demikianlah pendapat para Pakar-pakar Hukum Islam.
No comments:
Post a Comment
Silahkan luangkan waktu anda untuk memberikan Sedikit Komentar Buat Kemajuan Blog ini.. Setetes Komentar anda sangat berarti buat saya ok tulis yaaa..