Well, minyak mentah yang dihasilkan Indonesia saat ini konon sekitar 1 juta barrel/hari. Minyak berkualitas baik kebanyakan dihasilkan dari kilang di Minas (Caltex) yang memiliki sedikit kandungan belerang maupun lilin. Harganya memang mahal dan disukai oleh negara-negara maju seperti Amerika atau Jepang yang sangat peduli dengan polusi dan oktan.
Repotnya, hanya sekitar separo dari minyak yang dihasilkan sumur-sumur di Indonesia yang bisa diolah oleh kilang minyak kita. Karakteristik refinery kita sebenarnya tidak didesain untuk minyak Indonesia yang berkualitas tinggi tersebut. Sebaliknya, refinery kita lebih pas untuk jenis light crude seperti minyak-minyak dari Arab. Biarpun produksi dalam negeri laris di pasaran dunia, kita tidak bisa mengolahnya sedemikian hingga bisa memberikan nilai tambah.
Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri, Indonesia menggunakan minyak berkualitas lebih rendah. Minyak tersebut dibeli dari Timur Tengah (Kuwait) atau disedot dari sumur-sumur lain dalam jumlah yang lebih kecil. Selebihnya, Indonesia membeli minyak dari kilang milik Shell di Singapura. Jumlah impor tersebut konon bisa sampai Rp 20-30 triliun per tahun untuk memenuhi konsumsi BBM kita sekitar 400-500 juta barrel/tahun dengan pertumbuhan 5% tiap tahunnya.
Jadilah Indonesia sampai hari ini mengimpor sampai 450 ribu barrel BBM dan 400 ribu barrel minyak mentah per hari. Harga menggunakan patokan regional (MOPS) atau bursa IPE London dan NYMEX. BBM-nya langsung dikirim untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, sementara minyak mentahnya digunakan untuk memasok refinery kita yang rendah produksinya tersebut. Akibatnya, bila harga minyak dunia makin tinggi, maka harga yang harus kita bayar untuk impor juga makin besar. Inilah mengapa Indonesia menderita bila harga minyak dunia naik.
Masalah-Masalah Kita
Karena keterbatasan Pertamina, pemerintah terpaksa mengalihkan produksi kepada KKKS. Perlu diketahui bahwa kontrak bagi hasil antara BP Migas dan kontraktor tersebut melalui mekanisme PSC sebesar 85:15. Di dalam industri migas, angka 85:15 adalah angka yang lumrah untuk bagi hasil. Namun pernahkah Anda berpikir mengapa kontraktor asing yang mendapat hanya 15% bisa untuk besar sementara pemerintah yang menerima 85% malah selalu tombok?Sebagaimana kita ketahui, biaya eksplorasi dan gaji pegawai di industri migas luar biasa besarnya. Ketika harga minyak naik luar biasa, Exxon dan ConocoPhillips malah terpilih sebagai perusahaan dengan keuntungan terbesar versi majalah Fortune beberapa waktu lalu. Maaf kalau harus negative thinking, tapi selain mismanajemen yang begitu runyam, kemungkinan besar adalah karena korupsi.
Dari desas-desus yang sering beredar, rata-rata tiap unit Pertamina yang tersebar di berbagai daerah mengalami kebocoran setidaknya Rp 2 miliar. Pengadaan sebuah mur dan baut seharga Rp 100 bisa dinaikkan hingga Rp 10.000. Dan itu terjadi hampir di seantero Indonesia. Tahun lalu, Pertamina mengalami kebocoran anggaran Rp 15 triliun hingga menteri keuangan ogah menandatangani SKB.
Kilang Balongan di Indramayu juga terkenal sebagai refinery termahal di dunia. Ongkos pembuatannya dua kali lebih besar dari refinery dengan kapasitas yang sama. Kilang ini juga terkenal paling sering turun mesin (out of service) hingga 3-4 kali per tahun. Pertamina memang punya kilang Cilacap dan Balikpapan yang dibuat oleh perusahaan asing dan beroperasi sebagaimana mestinya. Namun, karena konsumsi selalu naik, tentu saja tak pernah cukup memenuhi kebutuhan dalam negeri. Terlebih, hasil sulingan sendiri ternyata masih lebih mahal harganya daripada membeli dari Singapura.
Indonesia Pasca Naiknya BBM
Apabila BBM benar dinaikkan, posisi keuangan negara tentu menjadi lebih sehat. Kenaikan harga BBM akan diikuti penurunan konsumsi dan impor BBM. Devisa pemerintah yang terbuang untuk membeli dollar guna menyediakan BBM juga menurun. Penyelundupan bisa dikurangi—-atau bahkan dihilangkan. Rakyat juga akan tersadarkan bahwa minyak adalah barang yang mahal, terbatas, dan tak terbarukan.Naiknya BBM akan mendorong naiknya inflasi dan menyebabkan kontraksi ekonomi. Sisi positifnya, kegiatan konsumsi akan menurun. Impor—-terutama barang-barang konsumsi—-juga menurun. Neraca perdangangan kita bisa lebih menarik. Penerimaan dalam mata uang asing lebih besar dariapada pengeluaran. Volume ekspor bisa meningkat dan terus digenjot untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Suku bunga yang tinggi juga bisa menarik investasi walau mungkin berpotensi sedikit mengguncang bursa saham.
Namun yang paling diuntungkan dari naiknya BBM adalah pemerintah. Inflasi yang tinggi berarti pemerintah menerima pendapatan di muka dengan mencetak uang atas sesuatu yang harganya naik karena inflasi. Harga-harga menjadi lebih tinggi. Penerimaan pajak juga naik karena masyarakat yang mendapat kenaikan upah dipaksa bayar lebih tinggi. Pendapatan dari deposito juga naik karena suku bunga ikut naik.
Masalahnya, “pendapatan” pemerintah dari inflasi akan digunakan untuk apa? Apakah pemerintah cukup mampu untuk membelanjakannya demi kemaslahatan rakyat banyak?
Saya ragu.
Masalah begini bukan soal gampang—-perlu pemerintahan yang visioner dan cerdas karena ekonomi adalah soal melihat apa yang tidak langsung terlihat.
Sistem negara kita telanjur lemah struktur. Birokrasi benar-benar macet. Efektifitas dan efisiensi aparat kita masih dipertanyakan. Pengetahuan dan pemahaman antara pemegang kendali sering tidak sinkron. Situasi ini makin parah karena di negeri ini nampaknya otak (apalagi hati) tak terlalu diperlukan untuk menjadi pemimpin yang harus mengambil kebijakan-kebijakan strategis.
Pemimpin yang satu ngomong seenak perutnya memberi kritik pedas tanpa solusi yang membangun. Pemimpin yang lain sibuk tebar pesona ancang-ancang untuk Pemilu depan. Sementara yang lain malah menggelontorkan milliaran rupiah untuk pamer di surat kabar dan televisi bermodal potongan puisi Chairil Anwar. Jadilah sudah. Orang-orang yang di bawah mau makan saja tambah susah.
Tapi tentunya kita harus tetap optimis. Perjuangan belum selesai dan anak cucu kita berhak mendapatkan yang jauh lebih baik dari pendahulunya. Mudah-mudahan momentum 100 tahun kebangkitan bangsa ini tak cuma jadi slogan yang usang—-tapi mendorong pada perubahan yang lebih baik.
No comments:
Post a Comment
Silahkan luangkan waktu anda untuk memberikan Sedikit Komentar Buat Kemajuan Blog ini.. Setetes Komentar anda sangat berarti buat saya ok tulis yaaa..