Pages

yang berminat dimanapun anda berada silahkan hubungin kami langusung.ini dengan bahan asli Internatioanl.... hub: hp :+20162217687..YAHOO: csejati08@yahoo.com

Presiden Harus S1/Sarjana?

Teman saya mencandai keponakannya, “Ngapain kamu repot-repot ngelamar ke Pertamina? Jadi presiden aja lebih gampang, nggak perlu sarjana, nggak perlu bisa inggris, asal bisa baca-tulis.” Tapi dia menimpali, “Yang doktor agroekonomi saja masih ruwet ngurusin pertanian, trus, apa yang bisa diharapkan dari yang belum sarjana?”
Taufiq Kiemas berargumen, “Kalau di UUD 1945 aturannya begitu, ya mau bilang apa lagi. Tidak usah mengatur hal-hal kecil.” Mungkin beliau lupa bahwa UUD 1945 adalah strategic guide yang mengatur
gambaran umum. Agak naif karena beliau mungkin lupa bahwa elemen strategis tersebut perlu diterjemahkan detil operasional, pengukuran, penilaian, dan pencapaiannya.
Terlepas dari tarik-ulur kepentingan politis di dalamnya, kecerdasan, wawasan, pengalaman, kedewasaan, maupun tanggung jawab seseorang memang tidak bisa diukur dari gelar akademisnya. Tapi di negeri ini, dimana sarjananya berlimpah ruah, tentu agak lucu ketika pemimpinnya cuma lulusan SMU — padahal harus memimpin rapat menteri dan staf ahli yang rata-rata bergelar S1 sampai S3. Agak lucu juga ketika pemimpin kita bertemu dengan presiden negara lain yang mayoritas bergelar master (S2). Apa kata anak ayam kepada induknya nanti?
Menurut saya wacana ini tidak mengada-ada. Toh andaikata Megawati seorang doktor, barangkali hal ini tidak akan menjadi kontroversi. Namun, simplifikasi capres yang “cuma” sehat jasmani dan rohani serta bisa baca tulis jelas melecehkan potensi besar bangsa ini. Tantangan bangsa ini ke depan sungguh mahaberat; dan hanya bisa dijawab oleh pemimpin dengan kompetensi yang cukup mumpuni dengan didukung aparatur yang kompeten dan suportif.
Secara umum, lulusan S1 umumnya cenderung mempunyai pola pikir yang lebih analitis dan terstruktur. Proses penalaran logis, pendewasaan diri, pengenalan terhadap wawasan yang lebih luas, hingga problem-solving dan decision making diajarkan di bangku kuliah.
Apalagi negeri ini masih punya banyak masalah. Dengan populasi terbesar keempat di dunia (222 juta penduduk) dan memiliki 17 ribu pulau yang tersebar, ekonominya hanya di urutan ke-23. Sementara birokrasinya ada di urutan keenam (rata-rata perlu 151 hari untuk mendirikan suatu perusahaan di Indonesia). Belum lagi tingkat pengangguran yang mencapai 10,3%, kalah jauh dari Singapura (2,6%), Malaysia (3,1%), dan bahkan Filipina (7,3%). Apakah bisa serta merta lulusan SMU memahami pengaruh inflasi dan suku bunga serta cara mengatasinya? Ini basic yang presiden perlu tahu, bukan sekadar menteri keuangan/perekonomian.
Secara psikologis, pintar secara akademis juga membanggakan dan bisa jadi contoh bagus buat rakyat. Bahwa untuk menjadi presiden tidaklah mudah. Bahwa untuk jadi presiden perlu belajar, kerja keras, meraih pendidikan tinggi yang memadai — tak sekadar modal dukungan sana-sini atau shortcut lewat jalan belakang. Juga agar standar kompetensi dan pendidikan di Indonesia lebih “terdengar” di luar.
Saya melihat bahwa presiden tak cuma jabatan politis, tetapi juga jabatan teknis. Sebagai pemegang jabatan politis, presiden perlu mendapat dukungan dari rakyat yang dipimpinnya. Namun sebagai pemegang jabatan teknis, presiden mutlak mempunyai kualifikasi yang mumpuni untuk me-manage negeri ini. Misalnya:
  • Beriman, bertakwa, taat beragama dan bermoral baik, serta memiliki kepribadian yang mulia.
  • Memiliki rekam jejak yang bersih dari korupsi, kolusi, nepotisme, dan tindakan cacat hukum lainnya.
  • Minimal sarjana, dari universitas terakreditasi dalam maupun luar negeri, serta berwawasan luas. Hal ini untuk memastikan bahwa ijazah diperoleh dari kegiatan belajar-mengajar yang baik dan berkualitas.
  • Sehat jasmani dan rohani, sehingga cukup mumpuni untuk menjalankan secara maksimal tugas-tugas kenegaraan yang jelas menguras fisik dan psikis.
  • Orang Indonesia asli, mencintai bangsa dan negara Indonesia, serta berwawasan membela kepentingan rakyat.
  • Bila perlu, skor TOEFL minimal 600 dan TPA minimal juga 600. Asumsinya, presiden mutlak menguasai bahasa pergaulan internasional. Skor TPA juga mencerminkan kemampuan verbal, kuantitatif, dan analitis seseorang.
  • Syarat-syarat tersebut nantinya tak cuma digunakan untuk calon presiden, melainkan diperluas juga untuk DPR, DPRD, DPD, atau bahkan untuk seluruh PNS.
Orang memang boleh membantah bahwa Bill Gates, yang drop-out kuliah, sukses menjadi orang terkaya di planet bumi. Namun orang mungkin lupa (tidak tahu?) bahwa di masa kecilnya Gates bisa menghafal puisi/lagu gereja dan memecahkan kode di kepanduan dalam sekejap. Gates juga sangat ahli dalam kalkulus dan algoritma, punya skor SAT 1950, hingga dia diterima di Harvard. Tentu bisa dibayangkan bagaimana sesungguhnya kemampuan akademis seorang Bill Gates, bukan?
Kedua, kita mungkin lupa bahwa kita hidup di masyarakat yang mengakui sistem pendidikan berjenjang. Di Amerika, masyarakatnya menganggap bahwa untuk menjadi seorang yang kredibel dan kompeten, tidak terlalu mempersoalkan pendidikan formal. Penghargaan di masyarakat timbul karena prestasi dan bukti, bukan karena atribut yang melekat di dalamnya. Sistem ini sudah baku sedemikian rupa sehingga setiap elemen masyarakat appreciate sekali dan tidak berusaha mencari shortcuts demi mendapat ketenaran dalam waktu singkat.
Di Indonesia, kita mengakui adanya strata pendidikan berjenjang sejak Sekolah Dasar (SD) hingga Doktor (S3) — dengan persyaratan tertentu dan tahapan-tahapan yang harus dilalui. Dengan persamaan standar tersebut, kita “tidak boleh” berargumen bahwa seseorang tidak harus S1 untuk jadi hebat. Ini menunjukkan bahwa seolah S1 tidak berguna dan bisa ditempuh secara asal — sesuatu yang sebenarnya tidak sejalan dengan sistem pendidikan kita.
Memang benar, banyak hal yang perlu dipikirkan dan dipersiapkan guna menyambut a nation’s leader. Memberikan batasan tingkat pendidikan tak bisa serta merta dianggap melanggar HAM karena menghilangkan hak seseorang untuk mencalonkan dirinya menjadi presiden. Jika demikian, maka boleh saja saya bilang bahwa syarat bertakwa kepada Tuhan YME juga melanggar HAM karena menghilangkan hak seorang atheis untuk menjadi capres. :D
Seorang pemimpin dengan latar belakang dan kompetensi tinggi secara umum diharapkan bisa memimpin negeri ini dengan lebih baik, dan secara khusus akan lebih menghargai pendidikan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat. In addition, dinamika saat ini mutlak membutuhkan seorang yang visioner, mampu melihat dari luar kotak, menganalisis dari berbagai perspektif berbeda, untuk kemudian memformulasi dan mengeksekusi solusi komprehensif yang efektif dan efisien untuk rakyat.
Akhir kata, siapa saja memang berhak mempunyai obsesi menjadi presiden. Dalam jangka panjang, apabila aturan ini diterapkan, akan memberi pengaruh positif dalam kerangka memuliakan mayoritas rakyat Indonesia. Namun, memaksakan aturan tersebut ketika para elit politik sedang bersiap untuk Pemilu 2009 jelas menyiratkan adanya kepentingan jangka pendek di baliknya — sesuatu yang (maaf) nasty dan sangat tidak bijaksana.

No comments:

Post a Comment

Silahkan luangkan waktu anda untuk memberikan Sedikit Komentar Buat Kemajuan Blog ini.. Setetes Komentar anda sangat berarti buat saya ok tulis yaaa..

login di bawah ini!


RestaurantAsean
Bookmark and Share

Catatan Da'wah

Possibly Related

Iklan Jitu, Bermutu

Masukkan Code ini K1-CC8E97-A
untuk berbelanja di sini
BLOG INI MASIH DALAM TAHAB PERBAIKAN MOHON MAAF APABILA MENGGANGGU KENYAMANAN SAUDARA